Blogger templates

Senin, 13 Agustus 2012

Nabi Zulkifli AS

baiklah kali ini kita akan membahas kisah  Nabi Zulkifli AS pada zaman rasul, nah ni kisah nabi dan rasul kita selanjutnya, semoga bermanfaat untujk kita semua..
Zulkifli adalah anak Nabi Ayyub AS. Dengan demikian ia masih cucu nabi Ibrahim AS. Zulkifli diangkat menjadi nabi dan rasul sesudah ayahnya. Nama kecilnya adalah Basyar dan ia termasuk orang yang sabar.
Sejak kecil hingga dewasa tidak pernah bohong. Semua janji yang diucapkannya selalu ditepati sehingga teman-temannya dan orang-orang sangat senang padanya. Bagi orang yang belum kenal dengannya lebih dalam akan senang melihatnya karena semua tingkah lakunya mencerminkan kebenaran.
Ketika mendapat cobaan dari Allah SWT, ia tidak pernah mengeluh sedikitpun, bahkan ia lebih mendekatkan dirinya kepada-Nya. Kesabarannya telah diabadikan Allah SWT di dalam Al Qur'an Surah Al Anbiya': 85 - 86. Kesabaran yang ada pada dirinya kelak akan membawanya menjadi seorang Raja seperti yang telah diucapkan nabi Ibrahim AS dan Nabi Ishaq AS. Semua keturunannya akan menjadi pemimpin dan panutan bagi kaumnya.
Zulkifli Menjadi Raja
Diceritakan bahwa pada masa kenabian Zulkifli, ada seorang raja yang sudah tua dan tidak diberi keturunan sama sekali. Ia sangat bingung dan gelisah mengenai penggantinya kelak. Raja itu adalah pemimpin yang bijaksana. Ia tidak pernah mementingkan dirinya, semua pikirannya ditumpahkan pada negaranya.
Suatu hari raja mengadakan sayembara kepada suluruh rakyatnya. Isi sayembara itu ialah untuk memberi kesempatan kepada seluruh rakyatnya agar bisa memimpin negaranya. Persyaratan yang diminta sangatlah berat bagi ukuran rakyatnya.
Meskipun demikian raja tetap mengajukan persyaratan itu sebab ia fikir jika pada siang hari puasa dan malam hari menjalankan ibadah tentu akan dicontoh rakyatnya. Jika Raja yang akan menggantikannya tidak pernah menjalankan persyaratan itu tentulah rakyatnya akan meniru pula.
Kabar sayembara itu sangatlah cepat menyebar. Dalam waktu singkat, rakyat berdatangan menuju istana. Hampir semua lapisan masyarakat datang untuk mengikuti sayembara tersebut. Zulkifli juga hadir dengan perasaan tidak menentu.
Tibalah saatnya mereka berkumpul di alun-alun yang luas. Raja sejak pagi ada di sana. Ia berkata kira-kira: "Wahai rakyatku, kini usiaku sudah tua dan tidak memperoleh seorang keturunanpun. Maka untuk meneruskan kejayaan kerajaan ini, aku mengambil salah satu dari kalian. Aku tidak ingin raja yang hendak menggantikan kedudukanku dari insan sembarangan. Ketahuilah bahwa titah raja selalu dituruti dan tingkah laku rajanya akan diikuti oleh rakyatnya. Untuk itulah aku mengajukan satu persyaratan, yaitu pada siang hari melakukan puasa dan malam hari melakukan ibadah."
Raja memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk mengangkat tangannya yang sanggup menjalankan persyaratan itu. Namun tidak ada seorangpun yang mengangkat tangannya. Tiba-tiba, Zulkifli mengangkat tangannya dan berkata (kira-kira):" Hamba sanggup menjalankan puasa di siang hari dan menjalankan ibadah di malam hari."
Para hadirin merasa terkejut denga ucapan Zulkifli. Begitu pula raja. Ia tidak yakin padanya karena usianya masih sangat muda. Bagaimana mungkin ia sanggup menjalankan persyaratan tersebut. Raja berkata: "Hai anak muda, jangan main-main. Sayembara ini adalah untuk kepentingan rakyat dan negeri ini." Dengan tenang Zulkifli melangkah ke hadapan raja.
"Wahai raja junjungan hamba, saya tidak main-main dengan ucapanku. Saya akan berusaha untuk melakukan persyaratan yang paduka berikan." Semula raja tidak dapat menerimanya karena faktor usianya yang masih sangat muda. Namun raja juga mempunyai keyakinan bahwa anak muda itu kelak akan memerintah rakyatnya dengan penuh kebajikan sebab dari sekian banyak rakyatnya yang hadir di alun-alun itu, hanya anak muda itu yang sanggup menjalankan persyaratan yang ia berikan. Akhirnya raja setuju, dan sejak saat itu, Zulkifli dinobatkan menjadi raja. Raja merasa senang sebab Zulkifli tetap memenuhi janjinya bahwa ia akan berpuasa di siang hari dan menjalankan ibadah di malam hari. Ia sangat yakin kalau rakyatnya akan mendapatkan kedamaian di bawah kepemimpinan Zulkifli. Raja yang tua itupun menghembuskan nafasnya terakhir dengan tenang.
Namun sebelum ia menghembuskan bafasnya, ia sempat berpesan kepada Zulkifli agar tetap menjalankan persyaratannya sepeninggal dia. Ia takut kalau ia meninggal, Zulkifli akan meninggalkan janjinya itu. Zulkifli meyakinkan raja dan bersumpah bahwa ia akan tetap menjalankan persyaratan tersebut.
Iblis Menggoda Zulkifli
Karena Zulkifli sangat menghormati tamunya, maka iblis mencoba untuk menggodanya. Ia berpura-pura menjadi tamu di malam hari, ketika raja mau tidur.
"Siapa yang ada diluar, silahkan masuk!" Kata Raja setelah shalat. Setelah menunggu agak lama, terdengar pintu diketuk orang. Setelah dipersilahkan masuk oleh raja, tamu itu tidak menjawab sama sekali.
Seusai dzikir, Nabi Zulkifli mendatangi pintu itu dan membukanya. Ia sangat heran sebab tidak ada orang. Begitu pintu ditutup, pintu kembali diketuk. Akhirnya Nabi Zulkifli membuka pintu itu dan tidak menutupnya. Ia yakin bahwa tamu yang hendak datang ke rumahnya mempunyai kepentingan yang harus diselesaikan malam itu juga. Ia berpikiran seperti itu sebab tidak pernah ia menerima tamu pada malam hari.
Tidak lama kemudian, muncullah tamu yang ditunggu-tunggu itu. Terlebih dahulu ia mengucapkan salam dan dibalas dengan ucapan salam juga oleh Nabi Zulkifli. "Silahkan masuk tuan," kata Nabi Zulkifli mempersilahkan tamunya masuk. Kemudian mereka duduk berhadapan yang dibatasi oleh meja. Nabi Zulkifli kemudian menanyakan maksud kedatangannya. Tamu itu menundukkan mukanya dan menjawab:" Ampun tuanku, memang ada keperluan yang mendesak sekali sehingga hamba bertamu pada malam hari begini. Lagi pula rumah hamba sangatlah jauh dari sini." jawab tamu itu yang tidak lain adalah iblis yang menyerupai manusia.
"Ceritakan masalah yang sedang engkau hadapi, siapa tahu aku dapat membantunya," kata Nabi Zulkifli. Kemudian tamu itu menceritakan semua persoalannya. Pada dasarnya tamu itu meminta agar masalahnya dituntaskan pada malam itu juga. "Begini saja, biar penasehatku yang akan memecahkan masalah ini," kata Nabi Zulkifli. Namun tamu itu tetap ngotot agar Zulkifli langsung yang menyelesaikan persoalannya. Ia berkata:" Hamba tidak mau jika orang lain menyelesaikan persoalanku. Hamba mau tuan sendiri yang menyelesaikannya.
Akhirnya Nabi Zulkifli bersedia menyelesaikan masalah itu sendiri. Tamunya pun puas. Raja pun pergi tidur. Namun sebelumnya ia menyuruh agar tamunya itu pulang besok pagi saja. Namun, betapa terkejutnya Nabi Zulkifli ketika pada pagi hari, tamunya sudah tidak ada lagi. Ia tahu bahwa tamu semalam adalah Iblis.
Meskipun jam tidurnya terganggu dengan adanya tamu itu, Nabi Zulkifli tidak pernah mengeluh sebab ia menganggap bahwa tamu adalah berkah. Menolak tamu berarti menolak berkah.

Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS

Yakub atau Israil tinggal di Mesir sejak ia datang untuk bertemu dengan anaknya, Yusuf. Ketika beliau wafat mereka menguburnya di tempat di mana ia dilahirkan di Palestina. Anak-anak Israil lebih memilih untuk hidup di Mesir di sisi Yusuf. Keadaan Mesir, kebaikannya yang banyak, kelayakan tanahnya, dan keharmonisan iklimnya merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka untuk tinggal di dalamnya. Anak-anak Israil tinggal di Mesir dalam tempo yang lumayan. Mereka menikah sehingga jumlah mereka bertambah banyak. Berlalulah tahun demi tahun dan kemudian Nabi Yusuf meninggal. Nabi Yusuf telah mengubah Islam saat beliau memegang tampuk kekuasaan. Nabi Yusuf memperjuangkan Islam dan setiap nabi yang diutus oleh Allah SWT pasti memperjuangkan agama Islam sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw. Pengertian Islam di sini ialah, mengesakan Allah SWT dan hanya semata-mata menyembah-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya. Islam juga berarti menyerahkan niat dan amal hanya semata-mata kepada Allah SWT. Demikianlah yang kita pahami atau yang kita maksud dari kata al-Islam, bukan sistem sosial yang dibawa oleh Nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Sistem ini merupakan kepanjangan dari sistem-sistem sosial yang dibawa para nabi. Jadi, esensi akidah satu dan tidak berbeda dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw.
Ketika Nabi Yusuf menjadi penguasa di Mesir dan ketua para menteri agama di Mesir berubah menjadi agama tauhid atau Islam. Nabi Yusuf as menyeru manusia untuk memeluk Islam saat beliau ada di dalam penjara ketika beliau mengatakan:
"Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah YangMaha Esa lagi Maha PerkasaV (QS.Yusuf: 39)
Dan beliau berdoa pada suatu hari ketika mimpinya terwujud:
"Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh. " (QS. Yusuf: 101)
Dan ketika Nabi Yusuf meninggal, Mesir mengubah sistem tauhid ke sistem multi tuhan untuk kedua kalinya. Menurut dugaan kuat bahwa hal ini terwujud dengan adanya campur tangan kelompok-kelompok elit yang berkuasa. Kelompok-kelompok elit ini— ketika di bawah agama tauhid—mereka tidak mendapatkan suatu perlakukan istimewa atau dibedakan dengan masyarakat umum, sehingga karenanya mereka mempunyai kepentingan untuk mengembalikan sistem penyembahan multi tuhan. Kemudian masyarakat mengikuti sistem penyembahan Fir'aun. Dan akhirnya, Mesir dipimpin keluarga-keluarga Fir'aun dan mereka mengklaim bahwa mereka adalah tuhan atau wakil-wakil tuhan atau orang-orang yang berbicara atas nama tuhan.
Pada dasarnya, masyarakat Mesir adalah masyarakat yang beradab. Mereka disibukkan dengan pembangunan peradaban. Mereka memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat. Dan barangkali kelompok-kelompok dari masyarakat Mesir meyakini bahwa Fir'aun bukan tuhan namun karena mereka mendapat tantangan keras dari Fir'aun dan Fir'aun tidak ingin dari kaurnnya kecuali agar mereka menaatinya sehingga mereka pun terpaksa menyembunyikan keimanan dalam diri mereka. Jadi, tuhan-tuhan berhala banyak sekali di Mesir. Hal yang bisa dipahami adalah, bahwa Fir'aun menguasai semua macam tuhan dan ia mengisyaratkan dengannya dan berbicara atas namanya. Yang demikian ini adalah sangat jelas di Mesir. Ketika terdapat sistem multi tuhan di Mesir—meskipun masyarakatnya meyakini tuhan utama, yaitu Fir'aun—kelompok elit yang berkuasa membatasi untuk hanya menyembah Fir'aun dan melaksanakan perintah-perintahnya serta membenarkan tindakan semena-menanya. Kita akan mengetahui dan kita akan membuka lembaran-lembaran Nabi Musa as bagaimana masyarakat Mesir hidup di zamannya. Mayoritas masyarakat saat itu mendapatkan kehinaan yang luar biasa dan diperlakukan secara lalim. Mereka harus taat sepenuhnya kepada Fir'aun. Mereka selalu diancam oleh algojo-algojo Fir'aun dan para tentaranya.
Allah SWT menceritakan Fir'aun yang hidup di zaman Nabi Musa dalam firman-Nya:
"Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya (seraya berkata): 'Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.'" (QS. an-Nazi'at: 23-24)
Manusia saat itu benar-benar tunduk terhadap pernyataan orang-orang kafir. Mereka menaati—barangkali itu karena terpak-sa—perkataan Fir'aun. Mesir kembali menggunakan sistem multi tuhan setelah sebelumnya disinari oleh tauhid yang disuarakan oleh Nabi Yusuf. Sementara itu, anak-anak Yakub atau anak-anak Israil mereka telah menyimpang dari tauhid. Mereka mengikuti orang-orang Mesir. Sedikit sekali dari keluarga mereka yang masih mempertahankan agama tauhid secara tersembunyi.
Datanglah suatu masa atas Bani Israil di mana mereka semakin banyak dan semakin menyebar. Mereka mengerjakan berbagai macam pekerjaan, dan mereka memenuhi pasar-pasar Mesir. Berlalulah hari demi hari. Mesir diperintah oleh seorang raja yang bengis di mana orang-orang Mesir menyembahnya. Raja yang jahat ini melihat Bani Israil semakin banyak dan semakin berkembang serta mengambil posisi-posisi penting. Raja mendengar pembicaraan Bani Israil tentang berita yang samar di mana dalam berita itu dikatakan bahwa salah seorang anak Bani Israil akan menjatuhkan Fir'aun Mesir dari singgasananya. Barangkali berita itu berasal dari suatu mimpi dari mimipi-mimpi hidup atau mimpi nyata yang mengelilingi hati kelompok minoritas yang tertindas, dan mungkin itu merupakan berita gembira yang tersebut dalam kitab-kitab mereka. Apa pun halnya, berita ini telah sampai di telinga Fir'aun.
Kemudian Fir'aun mengeluarkan perintah yang aneh, yaitu jangan sampai seorang pun dari Bani Israil yang melahirkan anak. Maksud dari perintah ini adalah, hendaklah setiap anak yang lahir dari jenis laki-laki dibunuh. Aturan ini mulai diterapkan. Tapi para pakar ekonomi berkata kepada Fir'aun: Orang-orang tua dari Bani Israil akan mati sesuai dengan ajal mereka, sedangkan anak-anak kecilnya disembelih maka ini akan berakhir pada hancurnya dan binasanya Bani Israil namun Fir'aun akan kehilangan kekayaan dan aset manusia yang dapat bekerja untuknya atau menjadi budak-budaknya dan wanita-wanita tidak dapat lagi dimilikinya. Maka yang terbaik adalah, hendaklah dilakukan suatu proses sebagai berikut: Anak laki-laki disembelih pada tahun yang pertama dan hendaklah mereka dibiarkan pada tahun berikutnya. Fir'aun sependapat dengan pikiran ini karena itu dianggap lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.
Ibu Musa mengandung Harun pada tahun di mana anak-anak kecil tidak dibunuh maka ia melahirkannya secara terang-terangan. Ketika datang tahun yang ditetapkan di dalamnya bahwa anak-anak kecil harus dibunuh, ia melahirkan Musa. Saat melahirkan Musa, sang ibu merasakan ketakutan yang luar biasa. la mencemaskan bahwa jangan-jangan anaknya akan dibunuh. Maka si ibu menyusuinya secara sembunyi-sembunyi. Kemudian datanglah suatu malam yang penuh berkah di mana Allah SWT mewahyukan kepadanya:
"Dam Kami ilhamkan kepada ibu Musa: 'Susuilah dia dan apabila khawatir terhadapnya maka jatuhkalah ia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir danjanganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.'" (QS. al-Qashash: 7)
Mendengar wahyu Allah SWT itu dan mendengar panggilan yang penuh kasih sayang dan suci ini, ibu Musa langsung menaatinya. Ia diperintahkan untuk membuat peti kecil bagi Musa. Setelah menyusuinya, ia meletakkannya di peti itu. Kemudian ia pergi ke tepi sungai Nil dan membuangnya di atas air. Hati sang ibu adalah hati yang paling pengasih di dunia. Hatinya dipenuhi penderitaan saat ia melemparkan anaknya di sungai Nil, tetapi ia menyadari bahwa Allah SWT lebih Pengasih terhadap Musa dibandingkan dengan dirinya. Allah SWT lebih mencintainya dibandingkan dengan dirinya. Allah SWT adalah Tuhannya dan Tuhan sungai Nil.
Belum lama peti itu menyentuh sungai Nil sehingga sang Pencipta mengeluarkan perintah kepada arus sungai agar menjadi tenang dan bersikap lembut terhadap bayi yang dibawanya yang pada suatu hari akan menjadi Nabi. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan kepada api agar menjadi dingin dan membawa keselamatan bagi Nabi Ibrahim, begitu juga Allah SWT memerintahkan kepada sungai Nil agar membawa Musa dengan tenang dan penuh kelembutan sehingga menyerahkannya ke istana Fir'aun. Air sungai nil membawa peti yang mulia ini ke istana Fir'aun. Di sana ombak menyerahkannya kepada tepi pantai kemudian ia mewasiatkan kepada tepi pantai itu. Dan angin berkata kepada rumput yang tidur di sisi peti: Jangan engkau banyak bergerak karena Musa sedang tidur. Rumput itu pun menaati perintah angin dan Musa tetap tidur.
Pada hari itu, matahari menyinari istana Fir'aun. Istri Fir'aun keluar berjalanjalan di kebun istana sebagaimana biasanya. Kita tidak mengetahui apa gerangan yang menjadikannya berjalan-jalan dan menempuh jarak yang lebih jauh dari yang biasa di tempuhnya.
Istri Fir'aun berbeda sekali dengan Fir'aun. Fir'aun adalah seorang kafir sementara istrinya adalah seorang yang beriman. Fir'aun adalah seorang yang keras kepala sementara istrinya adalah seorang yang penyayang. Fir'aun adalah seorang penjahat sementara istrinya adalah seorang yang lembut dan penuh cinta. Di samping itu, istrinya merasakan kesedihan yang dalam karena ia belum mampu melahirkan anak. Ia merindukan untuk mendapatkan anak. Istri Fir'aun berhenti di sisi kebun kemudian bau harum yang datang dari pohon itu menyebarkan perasaan sedih akan rasa kesendirian. Pada saat yang sama, wanita-wanita yang membantunya sudah memenuhi tempat-tempat air yang diambil dari sungai. Tiba-tiba mereka mendapati peti di sisi kaki mereka. Mereka membawa peti itu seperti semula ke istri Fir'aun. Ia memerintahkan untuk membukanya lalu mereka pun membukanya. Betapa terkejutnya istri Fir'aun ketika melihat Musa di dalamnya. Maka ia pun merasakan bahwa ia mencintainya seperti anaknya sendiri. Allah SWT menaruh dalam hatinya rasa cinta kepada Musa sehingga air matanya berlinang.
Kemudian ia membawa peti mati itu. Istri Fir'aun membolak-balikkan Musa sambil menangis. Musa terbangun dan ia pun menangis. Musa tampak lapar ia membutuhkan air susu pagi dan tetap menangis. Fir'aun duduk di atas meja makan. Ia menantikan istrinya namun yang ditunggu belum hadir. Fir'aun mulai marah dan mencarinya. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan kedatangan istrinya dengan membawa Musa. Istri Fir'aun tampak sangat menyayanginya. Ia terus menciuminya dan air matanya berlinangan. Fir'aun bertanya, "dari mana datangnya anak kecil ini?" Kemudian mereka menceritakan kepadanya bahwa mereka menemukannya di sebuah peti di tepi sungai. Fir'aun berkata: "Ini adalah salah satu anak Bani Israil. Sesuai dengan peraturan, anak-anak yang lahir tahun ini harus dibunuh." Mendengar keputusan Fir'aun itu, istri Fir'aun berteriak dan ia mendekap Musa lebih keras:
"Dan berkatalah istri Fir'aun: '(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat hepada kita atau kita ambil iajadi anak.'" (QS. al-Qashash: 9)
Fir'aun tampak keheranan sekali melihat aksi istrinya yang mendekap anak kecil yang mereka temukan di tepi sungai. Fir'aun tampak tercengang karena istrinya menangis dengan gembira di mana Fir'aun tidak pernah mendapati istrinya menangis karena gembira seperti ini. Fir'aun mulai mengetahui bahwa istrinya menyayangi anak ini seperti anaknya sendiri. Fir'aun berkata dalam dirinya: Barangkali ia ingat bahwa ia tidak mampu melahirkan anak dan menginginkan anak ini. Akhirnya, Fir'aun sepakat atas apa yang dikatakan oleh istrinya. Fir'aun memenuhi keinginannya dan menyetujuinya untuk mendidik anak ini di istananya.
Ketika mendengar persetujuan Fir'aun, tampaklah keceriaan yang luar biasa pada wajah istrinya. Fir'aun belum pernah menyaksikan keceriaan seperti ini. Fir'aun telah menghadirkan berbagai macam hadiah kepadanya, juga perhiasan dan budak tetapi ia belum pernah tersenyum meskipun sekali. Fir'aun menyangka bahwa istrinya tidak mengerti arti sebuah senyuman. Dan sekarang, Fir'aun melihat sendiri wajahnya dipenuhi dengan senyum keceriaan. Sementara itu, Musa mulai menangis karena lapar. Istri Fir'aun mengetahui bahwa Musa sedang lapar. Ia berkata kepada Fir'aun: "Anakku yang kecil sedang lapar." Fir'aun berkata: "Datangkanlah kepadanya para wanita yang menyusui." Kemudian didatangkanlah kepadanya seorang wanita yang menyusui dari istana. Wanita itu mencoba untuk menyusui Musa tetapi apa yang terjadi? Musa menolaknya. Lalu didatangkan wanita yang kedua sampai ketiga dan sampai kesepuluh tetapi Musa tetap menangis dan tidak ingin menyusu kepada seorang pun di antara mereka. Melihat kenyataan itu, istri Fir'aun menangis karena tidak tahan melihat penderitaan anak kecil itu. Ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Bukan hanya istri Fir'aun satu-satunya yang merasa sedih dan menangis, ibu Musa adalah wanita lain yang merasa sedih dan menangis. Ketika ia melemparkan Musa ke sungai Nil, ia merasa bahwa ia sedang melemparkan buah hatinya di sungai. Lalu peti yang dilemparkan itu hilang dibawa oleh air sungai dan beritanya pun tersembunyi. Dan ketika datang waktu pagi, ibu Musa merasakan kesedihan yang selalu menghantuinya. Hampir saja ia pergi ke istana Fir'aun untuk mendapatkan berita tentang anaknya kalau bukan karena Allah SWT menarah kedamaian dalam hatinya sehingga ia menyerahkan urusan anaknya kepada Allah SWT. Alhasil, ia berkata kepada saudara perempuan Musa: "Pergilah dengan tenang ke istana Fir'aun dan berusahalah untuk mendapatkan berita tentang Musa dan hendaklah engkau hati-hati agar jangan sampai mereka mengetahuimu." Kemudian saudara perempuan Musa pergi dengan tenang. Akhirnya, ia mendengarkan kisah tentang Musa secara sempurna. Ia melihat Musa dari kejauhan dan mendengarkan suara tangisannya. Ia melihat mereka dalam keadaan kebingungan di mana mereka tidak mengetahui bagaimana menyusuinya. Ia mendengar bahwa Musa menolak setiap wanita yang mencoba menyusuinya.
Saudara perempuan Musa berkata kepada para pengawal Fir'aun: "Apakah kalian mau aku tunjukkan suatu keluarga yang dapat menyusuinya dan dapat mengasuhnya." Istri Fir'aun menjawab: "Seandainya engkau dapat membawa kepada kami wanita yang dapat menyusuinya dan dapat mengasuhnya niscaya kami akan memberimu hadiah yang besar. Yakni sesuatu yang engkau inginkan akan kami penuhi." Lalu saudara perempuan Musa itu kembali dan menghadirkan ibunya. Si ibu menyusuinya dan Musa pun menyusu dengan tenang. Melihat hal itu, istri Fir'aun sangat gembira dan berkata: "Bawalah dia sehingga masa penyusuannya selesai, lalu kembalikanlah dia kepada kami dan kami akan memberimu suatu balasan yang besar atas penyusuan dan pendidikan yang engkau berikan."
Demikianlah Allah SWT mengembalikan Musa kepada ibunya agar ia merasa gembira dan hatinya menjadi tenang dan tidak bersedih serta agar ia mengetahui bahwa janji Allah SWT benar dan bahwa perintah-Nya dan ketentuan-Nya pasti terlaksana meskipun banyak rintangan dan tantangan. Allah SWT berfirman:
"Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: 'Ikutilah dia.' Maka helihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya, dam Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: 'Maukah kamu ahu tunjukkan kepadamu ahlubait yang akan memeliharanya untukmu dan mereha dapat berlaku baik kepadanya?'. Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (QS. al-Qashash: 10-13)
Ibu Musa menyempurnakan penyusuan lalu menyerahkannya ke rumah Fir'aun. Saat itu Musa disenangi dan disukai semua orang. Allah SWT berfirman:
Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku." (QS.Thaha: 39)
Tiada seorang pun yang melihat Musa kecuali ia akan mencintainya. Musa dididik di istana terbesar di bawah bimbingan dan penjagaan Allah SWT. Pendidikan Musa dimulai di rumah Fir'aun di mana di dalamnya terdapat ahli pendidikan dan para pengajar. Mesir saat itu merupakan negara yang besar di dunia dan Fir'aun sebagai raja yang paling kuat. Karena itu, secara sederhana Fir'aun rnampu mengumpulkan para pakar pendidikan dan para cendekiawan. Demikianlah hikmah Allah SWT berkehendak agar Musa terdidik di bawah pendidikan yang besar dan ditangani pakar-pakar pendidikan yang terlatih. Ironisnya, hal ini terjadi di rumah musuhnya yang pada suatu hari nanti akan hancur di tangannya, sebagai bentuk pelaksanaan dari perintah Allah SWT.
Musa tumbuh di rumah Fir'aun. Beliau mempelajari ilmu hisab, ilmu bangunan, ilmu kimia, dan bahasa. Beliau tidur di bawah bimbingan agama. Oleh karena itu, Musa tidak mendengar omongan kosong yang dikatakan oleh pendidik tentang ketuhanan Fir'aun. Jarang sekali ia mendengar bahwa Fir'aun adalah tuhan. Beliau pun menepis pernyataan dan anggapan ini. Beliau tinggal bersama Fir'aun di satu rumah. Beliau mengetahui lebih daripada orang lain bahwa Fir'aun hanya sekadar manusia biasa tetapi ia orang yang lalim. Musa mengetahui bahwa ia bukanlah anak dari Fir'aun. Beliau adalah salah seorang dari Bani Israil. Beliau menyaksikan bagaimana pengawal-pengawal Fir'aun dan para pengikutnya menindas Bani Israil. Akhirnya, Musa tumbuh besar dan mencapai kekuatannya.
Ketika para pengawal lalai darinya, Musa memasuki kota. Musa berjalan-jalan di sekitar kota. Kemudian Musa mendapati seorang lelaki dari pengikut Fir'aun yang sedang berkelahi dengan seseorang dari Bani Israil. Lalu seseorang yang lemah dari kedua orang itu meminta tolong kepadanya. Musa pun turut campur dalam urusan itu. Musa mendorong dengan tangannya seorang lelaki yang berbuat aniaya itu. Ternyata Musa membunuhnya. Saat itu Musa memang terkenal sebagai orang yang kuat sampai pada batas di mana dengan sekali pukul saja untuk melerai musuhnya, ia justru membunuhnya. Tentu Musa tidak sengaja untuk membunuh orang laki-laki itu. Tetapi apa yang terjadi? Lelaki itu tersungkur dan kemudian mati. Musa berkata kepada dirinya: Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang menyesatkan dan nyata. Kemudian Musa berdoa kepada Tuhannya dan berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku maka ampunilah aku." Allah SWT pun mengampuninya. Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Allah SWT berfirman:
"Dan setelah Musa sudah cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah kenabian dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lemah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan darinya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: 'Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya). Musa berdoa: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.' Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata: 'Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.'" (QS. al-Qashash: 14-17)
Kemudian Nabi Musa menjadi takut di tengah-tengah kota dan merasa terancam. Dalam ayat itu digambarkan bagaimana Nabi Musa merasakan ketakutan di mana ia mengkhawatirkan kejahatan akan datang padanya pada setiap langkahnya, dan ia begitu sensitif melihat gerak-gerik di sekitarnya. Nabi Musa saat itu menampakkan kegoncangan jiwa yang dahsyat. Sebenarnya Nabi Musa hanya ingin mempertahankan dirinya saat menolong seseorang dari Bani Israil. Ketika itu Nabi Musa mendorong dengan tangannya dan bertujuan memisahkan orang Mesir dari orang Israil tetapi ia justru membunuhnya.
Dalam undang-undang positif dinyatakan bahwa pembunuhan semacam ini dianggap sebagai pembunuhan karena keteledoran atau karena kesalahan bukan karena faktor kesengajaan sehingga karenannya yang bersangkutan tidak akan mendapatkan suatu hukuman yang berat. Biasanya orang yang melakukan pembunuhan tanpa sengaja akan mendapatkan keputusan yang meringankannya karena ia membunuh tanpa kesengajaan. Tentu kejadian semacam ini tidak dapat dianggap sebagai pembunuhan dengan sengaja karena yang bersangkutan tidak ingin mencelakakan orang lain. Nabi Musa tidak memukul orang itu. Yang ia lakukan hanya mendorongnya. Atau dengan kata lain, Nabi Musa hanya sekadar menyingkirkan orang tersebut. Kita akan mengetahui bahwa Nabi Musa adalah cermin lain dari Nabi Ibrahim. Kedua-duanya dari kalangan ulul azmi, tetapi Nabi Ibrahim adalah cermin kesabaran dan kelembutan sementara Nabi Musa adalah cermin dari kekuatan dan keperkasaan.
Musa menjadi takut dan terancam di tengah-tengah kota. Beliau berjanji di kemudian hari bahwa beliau tidak akan lagi menjadi sahabat orang-orang yang berbuat jahat. Beliau tidak akan lagi terlibat dalam pertengkaran dan permusuhan antara sesama penjahat. Di tengah-tengah perjalanannya, Musa dikagetkan ketika melihat orang yang ditolongnya kemarin saat ini lagi-lagi memanggilnya dan minta tolong padanya. Lagi-lagi orang itu terlibat permusuhan dan pertengkaran dengan seorang Mesir. Musa mengetahui bahwa orang Israil ini berbuat aniaya. Musa mengetahui bahwa ia termasuk salah seorang preman di situ. Akhirnya, Musa berteriak di depan wajah orang Israil itu sambil berkata: "Sungguh ternyata engkau adalah orang yang jahat."
Musa mengatakan demikian sambil mendorong keduanya dan ia melerai pertengkaran itu. Orang Israil itu mengira bahwa Musa akan mencelakakannya maka ia diliputi rasa takut. Sambil meminta kasih sayang kepada Musa, ia berkata: "Wahai Musa apakah engkau akan membunuhku sebagaimana engkau membunuh orang yang kemarin. Apakah engkau ingin menjadi seorang penguasa di muka bumi dan tidak ingin menjadi orang yang memperbaiki bumi." Ketika mendengar orang Israil yang mengatakan demikian, Musa berhenti dan amarahnya mereda. Musa mengingat apa yang dilakukannya kemarin dan bagaimana ia meminta ampun dan bertaubat serta berjanji untuk tidak menjadi pembantu orang-orang yang berbuat jahat. Musa kemudian kembali dan meminta ampun kepada Tuhannya.
Orang Mesir yang berkelahi dengan orang Israil itu mengetahui bahwa Musa adalah pembunuh orang Mesir yang mayatnya mereka temukan kemarin. Petugas keamanan Mesir tidak berhasil menyingkap kasus pembunuhan itu. Akhirnya, rahasia Musa tersingkap lalu seorang lelaki Mesir yang beriman datang dari penjuru kota. Ia membisikkan kepada Musa bahwa ada suatu rencana untuk membunuhnya. Ia menasehati Musa agar meninggalkan Mesir secepatnya.
Allah SWT berfirman:
"Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya: 'Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sesat yang nyata (kesesatannya). Maka tat-kala Musa memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: 'Hai Musa apakah kamu bermaksud untuk membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tida bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.' Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota tergesa-gesa seraya berkata: 'Hai Musa, sesungguhnya pembesar sedang berunding tentang kamu. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.'" (QS. al-Qashash: 18-20)
Allah menyembunyikan kepada kita nama laki-laki yang datang mengingatkan Musa itu. Tetapi menurut hemat kami, ia adalah seorang lelaki Mesir yang tentu meiliki jabatan penting. Sesuai dengan ayat tersebut, ia mengetahui adanya persengkongkolan untuk menyingkirkan Musa dari kedudukan yang tinggi. Seandainya ia orang yang biasa-biasa saja maka orang itu tidak mengenalnya. Orang itu mengetahui bahwa Musa tidak berhak untuk mendapatkan hukum bunuh atas dosanya. Musa membunuh karena faktor kesalahan, bukan karena faktor kesengajaan. Kesalahan semacam itu menurut undang-undang Mesir yang dahulu dihukum dengan penjara. Lalu, mengapa timbul keinginan untuk membunuh Musa? Kalau kita memperhatikan nasihat orang Mesir itu ter-hadap Musa maka kita akan menemukan jawabannya. Yaitu perkataannya: "Para pembesar merencanakan persekongkolan untuk menyingkirkanmu."
Al-Mala' adalah para penguasa atau para pembesar yang bertanggung jawab pada keamanan. Mereka menyiapkan persekongkolan untuk menyingkirkan Musa. Apa yang dilakukan oleh Musa— kalau memang dianggap sebagai suatu kesalahan—adalah kejahatan biasa yang hanya dituntut dengan hukuman penjara. Lalu siapakah yang membuat rencana yang demikian, dan siapakah yang mendorong untuk melakukan persekongkolan untuk membunuhnya? Kami kira bahwa kepala keamanan Mesir tidak menyukai Musa. Ia mengetahui bahwa Musa adalah anggota Bani Israil. Ia mengetahui bahwa sampainya peti di istana Fir'aun merupakan suatu rekayasa yang dirancang oleh musuh-musuhnya yang menginginkan kedudukannya. Ini berarti karena keteledorannya dan ketelodaran anak-anak buahnya. Berapa kali orang itu menasihati dan menganjurkan agar Musa dibunuh tetapi Fir'aun justru menampik pikiran itu. Dan ketika datang saat yang ditentukan untuk membunuh Musa, Fir'aun justru tunduk terhadap istrinya yang sangat mencintai Musa.
Akhirnya, kesempatan emas ada di depannya. Para pembantunya mengatakan kepadanya bahwa Musalah yang membunuh orang Mesir yang mereka temukan jasadnya kemarin. Selesailah urusan ini. Kemudian datanglah perintah dan kesempatan untuk membunuh Musa. Orang-orang yang membenci Musa mulai mendapatkan angin kegembiraan di mana mereka akan melihat Musa terbunuh, tetapi Allah SWT mengirim seorang Mesir yang baik untuk mengingatkan Musa agar berlari dari kejaran orang-orang yang lalim.
Allah SWT berfirman:
"Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: 'Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang lalim itu.'" (QS. al-Qashash: 21)
Musa meninggalkan kota dan menjadi orang yang terusir. Musa segera keluar dalam keadaan takut dan sambil waspada Musa selalu berdoa dalam hatinya: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang lalim." Kaum itu memang benar-benar orang-orang yang lalim. Mereka ingin menerapkan hukuman bagi pembunuh dengan sengaja atas Musa, padahal Musa tidak melakukan selain berusaha memisahkan orang yang berkelahi tetapi dengan tidak sengaja ia membunuhnya. Musa segera keluar dari Mesir. Beliau tidak lagi pergi ke istana Fir'aun dan tidak mengganti pakaiannya, dan beliau tidak membawa makanan untuk perjalanan. Beliau tidak membawa binatang tunggangan yang dapat mengantarkannya. Beliau tidak pergi bersama suatu kafilah. Beliau langsung pergi ketika mendapatkan kabar dari seorang mukmin yang mengingatkannya dari ancaman Fir'aun.
Musa melalui jalan yang tidak lazim dilalui orang biasa. Musa memasuki gurun dan ia menuju ke suatu tempat yang di situ Allah SWT membimbingnya. Ini adalah pertama kalinya beliau keluar dan mengarungi gurun pasir sendirian. Kemudian sampailah Musa di suatu tempat yang bernama Madyan. Musa istirahat dan duduk-duduk di dekat sumur yang besar di mana di situ orang-orang mengambil air untuk memberi minum kepada binatang-binatang tunggangan mereka dan binatang-binatang gembalaan mereka. Musa tidak membawa makanan selain daun-daun pohon. Musa minum dari sumur-sumur yang ditemukannya di tengah jalan. Sepanjang peijalanan Musa merasakan ketakutan; jangan-jangan Fir'aun mengirim orang untuk menangkapnya. Ketika Musa sampai di kota Madyan Musa berbaring di sisi pohon dan istirahat. Musa merasa lapar dan keletihan. Sandal yang dipakainya tampak mulai rusak. Beliau tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli sandal baru, dan beliau juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli makanan dan minuman.
Nabi Musa memperhatikan kumpulan pengembala yang sedang mengambil air untuk kambing-kambing mereka. Musa ingat bahwa ia sedang lapar dan haus. Ia berkata dalam dirinya: Aku tidak dapat memenuhi perutku dengan air selama aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan. Musa berjalan menuju tempat air. Sebelum sampai, ia mendapati dua orang perempuan yang sedang menyendirikan kambing-kambingnya agar jangan sampai tercampur dengan kambing orang lain. Melalui ilham, Musa merasa bahwa kedua wanita itu membutuhkan pertolongan. Musa lupa terhadap rasa hausnya, lalu beliau menuju ke arah mereka dan bertanya, apakah ia dapat membantu mereka? Lalu seorang gadis yang paling tua berkata: "Kami menunggu sampai selesainya para gembala itu mengambil air untuk binatang gembalaan mereka." Musa bertanya: "Mengapa kalian tidak mengambil air sekarang?" Gadis yang paling kecil berkata: "Kami tidak mampu untuk berdesak-desakan dengan kaum pria." Nabi Musa keheranan karena mengetahui kedua gadis itu menggembala kambing. Seharusnya yang mengembala kambing adalah kaum pria. Ini adalah tugas yang berat dan sangat melelahkan. Musa bertanya: "Mengapa kalian mengembala kambing?" Masih kata gadis yang paling kecil: "Orang tua kami sudah tua di mana kesehatannya tidak dapat membantunya untuk keluar dari rumah dan mengembala kambing setiap hari." Musa berkata: "Kalau begitu, aku akan membantu kalian untuk mengambil air tersebut."
Musa berjalan menuju tempat air. Musa mengetahui bahwa para pengembala meletakkan di atas bibir air suatu batu besar yang tidak bisa digerakkan kecuali oleh sepuluh orang. Musa merangkul dan mengangkatnya dari bibir sumur. Otot-otot Musa tampak menonjol saat memindahkan batu itu. Musa adalah seorang lelaki yang kuat. Akhirnya, Musa berhasil mengambilkan air bagi remaja putri itu, dan kemudian ia mengembalikan batu itu ke tempatnya. Musa kembali duduk di bawah naungan pohon. Saat itu Musa lupa untuk minum. Perut Musa menempel ke punggungnnya karena saking laparnya. Musa mengingat Allah SWT dan memanggil-Nya dalam hatinya:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. al-Qashash: 24)
"Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia berdoa (lagi): 'Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar.' Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menambat (ternaknya) Musa berkata: 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?' Kedua wanita itu menjawab: 'Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'" (QS. al-Qashash: 22-24)
Marilah kita tinggakan sejenak Nabi Musa yang sedang duduk di bawah naungan pohon untuk kemudian kita melihat apa yang terjadi pada kedua gadis itu. Kedua gadis itu kembali ke rumah ayahnya. Si ayah bertanya: "Hari ini kalian kembali lebih cepat dari biasanya?" Gadis yang paling tua berkata: "Sungguh hari ini kami sangat beruntung. Wahai ayah, kami bertemu dengan seorang lelaki yang mulia yang mengambilkan air bagi hewan kami sebelum orang-orang lain mengambilnya." Si ayah berkata: "Alhamdulilah." Gadis yang paling kecil berkata: "Saya kira wahai ayahku dia datang dari tempat yang jauh dan tampak ia sedang lapar. Saya melihat dia dalam keadaan kecapaian meskipun ia seorang lelaki yang kuat."
Si ayah berkata kepada anak perempuannya: Pergilah engkau padanya dan katakan, sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk memberimu upah atas jasamu mengambilkan air untukku. Kemudian anak perempuan itu pergi menemui Musa dalam keadaan hatinya berdebar-debar. Perempuan itu berdiri di depan Musa dan menyampaikan surat dari ayahnya. Musa bangkit dari tempat duduknya dan pandangannya tertuju ke bawah. Musa tidak bermaksud mengambilkan air untuk mereka dengan tujuan mengharapkan upah dari mereka. Beliau membantu mereka hanya semata-mata karena Allah SWT. Beliau merasakan dalam dirinya bahwa Allah SWT-lah yang mengarahkan beliau untuk membantu mereka.
Gadis itu berjalan di depan Musa kemudian bertiuplah angin dan menyentuh pakaiannya sehingga Musa menundukkan pandangan matanya karena merasa malu. Musa berkata kepadanya: "Saya akan berjalan di depanmu dan tunjukkanlah jalan kepadaku." Mereka pun sampai di kediaman si ayah. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa si ayah ini adalah Nabi Syu'aib. Beliau memperoleh usia yang panjang setelah kematian kaumnya. Ada juga yang mengatakan bahwa si ayah adalah putra dari saudara Syu'aib. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah anak dari pamannya, dan ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah seorang lelaki mukmin dari kaumnya. Yang jelas, ia adalah seorang tua yang saleh. Orang tua itu menghidangkan kepada Nabi Musa makanan siang dan bertanya kepadanya dari mana ia datang dan kemudian ke mana ia akan pergi.
Musa mengungkapkan ceritanya. Orang tua itu berkata kepadanya, jangan khawatir dan jangan takut. Engkau akan selamat dari orang-orang yang lalim. Negeri ini tidak tunduk pada Mesir dan mereka tidak akan sampai di sini. Mendengar ucapan itu, Musa menjadi tenang dan bangkit untuk pergi. Salah seorang anak perempuan itu berkata kepada ayahnya dengan berbisik: "Wahai ayahku, berilah dia upah." Sesungguhnya engkau akan memberikan upah kepada seorang yang kuat dan jujur. Si ayah bertanya kepadanya: "Bagaimana engkau mengetahui dia seorang lelaki yang kuat?" Anak perempuannya menjawab: "Saya lihat sendiri ia mengangkat batu yang tidak mampu diangkat oleh sepuluh orang lelaki." Si ayah bertanya lagi: "Bagaimana engkau mengetahui bahwa dia seseorang yang jujur." Perempuan itu menjawab: "Ia menolak untuk berjalan di belakangku dan ia berjalan di depanku sehingga ia tidak melihatku saat aku berjalan, dan selama perjalanan saat aku berbincang-bincang padanya, dia selalu menundukkan matanya ke tanah sebagai rasa malu dan adab yang baik darinya."
Kemudian orang tua itu memandangi Musa dan berkata padanya: "Wahai Musa, aku ingin menikahkanmu dengan salah satu putriku. Dengan syarat, hendaklah engkau bekerja mengembala kambing bersamaku selama delapan tahun. Seandainya engkau menyempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah kemurahan darimu. Aku tidak ingin menyusahkannmu. Sungguh insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang saleh." Musa berkata: "Ini adalah kesepakatan antar aku dan engkau dan Allah SWT sebagai saksi atas kesepakatan kita, baik aku melaksanakan pekerjaan selama delapan tahun maupun sepuluh tahun. Setelah itu, aku bebas untuk pergi kemana saja."
Allah SWT berfirman:
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: 'Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami.' Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: 'Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang lalim itu.' Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: 'Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah dia (Syu'aib): 'Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikkan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.' Dia (Musa) berkata: 'Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang aku ucapkan.'" (QS. al-Qashash: 25-28)
Ketika sampai pada kisah ini, banyak pena bertebaran untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mencoba menerobos kesamaran. Mereka bertanya tentang anak perempuan yang menikahi Musa: apakah anak perempuan yang paling besar ataukah anak perempuan yang paling kecil, dan Musa memilih masa bekerja delapan tahun atau sepuluh tahun. Bahkan mereka menyampaikan berbagai macam riwayat dan kisah yang mereka yakini kebenarannya. Kami sendiri meyakini bahwa Musa menikah dengan salah satu anak perempuan dari orang tua itu tetapi kita tidak mengetahui siapa dia dan siapa namanya. Kami meyakini bahwa beliau menikah dengan gadis yang memanggilnya untuk menemui ayahnya. Kemudian gadis itulah yang menganjurkan ayahnya agar memberikan upah padanya.
Al-Qur'an al-Karim melalui konteks ayatnya menyingkap bentuk kekaguman yang tersembunyi di balik gadis itu terhadap Musa. Barangkali orang tuanya mengetahui bahwa anak perempuannya menaruh rasa cinta kepada Musa, dan boleh jadi ketika berbicara tentang pernikahan kepada Musa, ia menyerahkan sepenuhnya kebebasan Musa untuk memilih. Mungkin Musa memilih sendiri gadis mana yang diminatinya. Tetapi, siapa gadis yang dipilih oleh Musa: apakah gadis yang paling tua atau gadis yang paling kecil? Yang jelas Al-Qur'an tidak menyebutkan hal tersebut, meskipun ia hanya memberikan isyarat kepadanya dalam firman-Nya:
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan. " (QS. al-Qashash: 25)
Begitu juga Al-Qur'an al-Karim tidak menyebutkan waktu yang dihabiskan oleh Musa saat ia bekerja: apakah sepuluh tahun atau beliau merasa cukup dengan delapan tahun. Kami sendiri meyakini sesuai dengan kebiasaan Musa dan kemurahannya serta kenabiannya serta kedudukannya sebagai salah satu nabi ulul azmi bahwa beliau memilih masa yang paling lama, yaitu sepuluh tahun. Pendapat itu juga didukung oleh hadis Ibnu Abas.
Demikianlah Nabi Musa mengabdi kepada orang tua itu selama sepuluh tahun penuh. Pekerjaan Nabi Musa terbatas pada keluar dari rumah di waktu pagi untuk mengembala kambing. Kami kira bahwa sepuluh tahun masa yang dihabiskan oleh Nabi Musa di Madyan merupakan suatu ketentuan yang dirancang oleh Allah SWT. Musa berdasarkan agama Yakub. Kakek beliau adalah Yakub dan Yakub sendiri adalah cucu dari Ibrahim. Dengan demikian, Musa adalah cucu dari Ibrahim dan setiap nabi yang datang setelah Ibrahim berasal dari sulbinya. Maka dari sini kita memahami bahwa Musa berada di atas agama ayah-ayahnya dan kakek-kakeknya.
Nabi Musa berdasarkan Islam dan agama tauhid. Nabi Musa menghabiskan masa sepuluh tahun itu dalam keadaan jauh dari kaumnya dan keluarganya. Masa sepuluh tahun ini adalah masa yang paling penting dalam kehidupannya. Ia merupakan masa persiapan yang besar. Pada setiap malam Musa merenungkan bintang-bintang. Musa mengikuti terbitnya matahari dan tenggelamnya. Pada setiap siang Musa memikirkan tumbuh-tumbuhan: bagaimana ia membelah tanah dan mekar. Musa memperhatikan air: bagaimana ia menghidupkan bumi setelah bumi itu mati, lalu bumi itu menjadi tempat yang indah dan subur. Musa memperhatikan alam vang luas dan ia tampak tercengang dan kagum dengan ciptaan Allah SWT.
Sebenarnya pemikiran-pemikiran dan perenungan-perenungan tersebut jauh-jauh hari sudah tersembunyi di dalam dirinya dan menetap di dalam jiwanya. Bukankah Musa telah terdidik di istana Fir'aun. Ini berarti bahwa beliau menjadi seorang Mesir yang mempunyai wawasan yang luas; orang Mesir yang menunjukkan kekuatan fisiknya; orang Mesir dengan segala makanannya dan minumannya. Jadi, segala hal yang ada pada Musa berbau Mesir. Musa siap-siap untuk menerima wahyu Ilahi dari bentuk yang baru. Yaitu wahyu Ilahi yang langsung datang tanpa perantara seorang malaikat di mana Allah SWT akan berbicara dengannya tanpa perantara.
Oleh karena itu, sebelum datangnya wahyu itu perlu adanya persiapan mental dan moral, sedangkan persiapan fisik telah selesai dilaluinya di Mesir. Musa tumbuh di istana yang paling besar vang dimiliki penguasa di bumi dan di suatu pemerintahan yang paling kaya di bumi. Musa menjadi seorang pemuda yang kuat di mana hanya sekadar memisahkan seseorang yang berkelahi, ia justru membunuhnya. Setelah persiapan fisik yang sangat kuat, kini Musa harus melewati persiapan mental yang seimbang. Yaitu persiapan yang dilakukan melalui pengasingan yang sempurna di mana beliau hidup di tengah-tengah gurun dan tempat pengembalaan yang beliau belum pernah menginjakkan kakinya di sana. Beliau hidup di tengah-tengah orang asing yang belum pernah beliau lihat sebelumnya.
Sering kali Musa mendapatkan kesunyian dan keheningan di balik pengasingan itu. Allah SWT mempersiapkan hal tersebut kepada nabi-Nya agar setelah itu beliau mampu memegang amanat yang besar dari Allah SWT. Datanglah suatu hari atas Musa. Selesailah masa yang ditentukan. Kemudian Musa merasakan kerinduan untuk kembali ke Mesir. Dengan berlalunya waktu, hukuman yang harus dijalaninya dengan sendirinya gugur. Musa mengetahui hal itu, tetapi beliau juga mengetahui bahwa undang-undang di Mesir sebenarnya terletak pada kekuatan penguasa; jika penguasa berkehendak maka Musa dapat menerima hukuman dan jika tidak berkehendak maka dia akan memaafkannya, meskipun yang bersangkutan berhak mendapatkan hukuman. Alhasil, Musa menyadari hal itu, Musa tidak sepenuhnya yakin ia akan selamat ketika beliau menginjakkan kakinya di Mesir seperti keyakinannya bahwa beliau selamat di tempatnya sekarang. Meskipun demikian, rasa rindunya untuk melakukan perjalanan kembali ke tempatnya mendorong Musa segera menuju ke Mesir. Musa tepat mengambil keputusan.
Musa berkata kepada istrinya: "Besok kita akan memulai perjalanan ke Mesir." Istrinya berkata dalam dirinya: "Di dalam perjalanan terdapat seribu macam bahaya tetapi ketenangan tetap menghiasai wajah Musa." Istri Musa tetap taat kepada Musa. Nabi Musa sendiri tidak mengetahui rahasia tentang keputusannya yang cepat untuk kembali ke Mesir setelah sepuluh tahun beliau pergi melarikan diri, lalu mengapa sekarang ia kembali ke sana? Apakah beliau rindu kepada ibunya dan saudaranya? Apakah beliau berpikir untuk mengunjungi istri Fir'aun yang telah mendidiknya layaknya ibunya dan sangat mencintainya layaknya ibunya sendiri? Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang terlintas dalam diri Musa saat beliau berkeinginan untuk kembali ke Mesir. Hanya saja, yang kita ketahui bahwa Nabi Musa terbimbing dengan ketetapan-ketetapan Ilahi sehingga beliau tidak melangkahkan kakinya kecuali berdasarkan ketetapan tersebut.
Musa keluar bersama keluarganya dan melakukan perjalanan. Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan yang tebal, dan kegelapan rnenyelimuti sana-sini. Sementara itu, petir menyambar sangat keras dan langit menurunkan hujan. Cuaca tampak tidak bersahabat. Di tengah-tengah perjalanannya, Musa tersesat. Musa mendapatkan dua potongan batu kemudian beliau memukulkan kedua-nya dan menggesek-gesekan keduanya agar mendapatkan api darinya sehingga beliau dapat berjalan. Tetapi sayang, beliau tidak mampu melakukan hal itu. Angin yang bertiup kencang memadamkan api kecil itu.
Nabi Musa berdiri dalam keadaaan bingung dan tubuhnya tampak menggigil di tengah-tengah keluarganya. Kemudian Nabi Musa mengangkat kepalanya dan menyaksikan sesuatu dari jauh. Sesuatu yang beliau saksikan adalah api yang sangat besar yang menyala-nyala dari kejauhan. Maka hati Musa dipenuhi dengan rasa gembira. Ia berkata kepada keluarganya: "Aku melihat api di sana." Lalu beliau memerintahkan kepada mereka untuk tinggal di tempatnya sehingga beliau pergi ke api itu. Barangkali di sana beliau mendapatkan suatu berita atau akan menemukan seseorang yang dapat memberinya petunjuk sehingga beliau tidak tersesat, atau beliau dapat membawa sebagian api yang menyala sehingga tubuh mereka menjadi hangat.
Keluarganya melihat api yang diisyaratkan oleh Musa tetapi sebenarnya mereka tidak melihat sesuatu pun. Mereka tetap menaatinya dan duduk sambil menunggu kedatangan Musa. Musa bergerak menuju ke tempat api. Musa segera berjalan untuk menghangatkan tubuhnya, sementara tangan kanannya memegang tongkatnya dan tubuhnya tampak basah kuyup karena hujan. Nabi Musa tetap berjalan sampai ia mencapai suatu lembah yang bernama Thua'. Beliau menyaksikan sesuatu yang unik di lembah ini. Di lembah itu tidak ada rasa dingin dan tidak ada angin yang bertiup. Yang ada hanya keheningan. Nabi Musa mendekati api. Belum lama beliau mendekatinya sehingga beliau mendengar suara panggilan:
"Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: 'Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 8)
Tiba-tiba Nabi Musa berhenti dan badannya menggigil. Suara itu tampak terdengar dan datang dari segala tempat dan ddak berasal dari tempat tertentu. Musa melihat api dan beliau kembali merasa menggigil. Beliau mendapati suatu pohon hijau dari duri dan setiap kali pohon itu terbakar dan berkobar api darinya maka pohon itu justru semakin hijau. Seharusnya pohon itu berubah warnanya menjadi hitam saat terbakar, tetapi anehnya api justru meningkatkan warna hijaunya. Musa tetap menggigil meskipun beliau merasakan kehangatan dan tampak mulai berkeringat.
Lembah yang di situ Musa berdiri adalah lembah Thua'. Musa meletakkan kedua tangannya di atas kedua matanya karena saking dahsyatnya cahaya. Beliau melakukan yang demikian itu sebagai usaha untuk melindungi kedua matanya. Kemudian Musa bertanya dalam dirinya: Ini cahaya atau api? Tiba-tiba beliau tersungkur ke tanah sebagai wujud rasa takut, lalu Allah SWT memanggil:
"Wahai Musa." (QS. Thaha: 11)
Musa mengangkat kepalanya dan berkata: "Ya." Allah berkata:
"Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu." (QS. Thaha: 12)
Musa semakin menggigil dan berkata: "Benar wahai Tuhanku."
Allah SWT berkata: "Maka lepaskanlah kedua sandalmu sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci yang bernama Thua'." Musa tertunduk dan rukuk sementara tubuhnya tampak gemetar dan beliau mulai melepas sandalnya Allah SWT berkata:
Maka tinggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembahyangsuci, Thuwa'. " (QS. Thaha:   12)
Musa rukuk dan melepas kedua sandalnya. Kemudian Allah SWT kembali berkata:
"Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahahan. Maka sehali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orangyang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa." (QS. Thaha: 13-16)
Musa semakin gemetar saat beliau menerima wahyu Ilahi dan saat berdialog dengan Allah SWT. Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berkata:
"Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa?" (QS. Thaha: 17)
Bertambahlah keheranan Nabi Musa. Allah SWT adalah Zat yang mengajaknya berbicara dan tentu Dia lebih mengetahui daripada Musa tentang apa yang dipegangnya, lalu mengapa Allah SWT bertanya kepadanya jika memang Dia lebih mengetahui darinya. Tak ragu lagi bahwa di sana ada hikmah yang tinggi. Musa menjawab pertanyaan itu dengan suaranya yang tampak mengigigil:
"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya." (QS. Thaha: 18)
Allah berfirman:
"Lemparkanlah ia, hai Musa!" (QS. Thaha: 19)
Musa melemparkan tongkatnya dari tangannya dan rasa herannya semakin menjadijadi. Tiba-tiba Musa dikagetkan ketika melihat tongkat itu menjadi ular yang besar. Ular itu bergerak dengan cepat. Musa tidak mampu lagi menahan rasa takutnya. Musa merasa tubuhnya bergetar karena rasa takut. Musa membalikkan tubuhnya karena takut dan ia mulai lari. Belum lama ia lari, belum sampai dua langkah, Allah SWT memanggilnya:
"Hai Musa, janganlah kamu takut, sesungguhnya orang yang menjadikan rasul, tidak takut di hadapanku. " (QS. an-Naml: 10)
"Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman. " (QS. al-Qashash: 31)
Musa kembali memutar badannya dan berdiri. Tongkat itu tampak bergerak dan ular itu pun tetap bergerak. Allah SWT berkata kepada Musa:
"Peganglah ia dan janganlah takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. " (QS. Thaha: 21)
Musa mengulurkan tangannya ke ular itu dalam keadaan menggigil. Musa belum sempat menyentuhnya sehingga ular itu menjadi tongkat. Demikianlah perintah Allah SWT terjadi dengan cepat. Kemudian Allah SWT memerintahkan kepadanya:
"Masukanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)mu bila ketakutan. " (QS. al-Qashash: 32)
Musa meletakkan tangannya di kantongnya lalu ia mengeluarkannya dan tiba-tiba tangan itu bersinar bagaikan bulan. Kembali rasa kagum Musa bertambah. Lalu ia meletakkan tangannya di dadanya sebagaimana diperintahkan Allah SWT padanya sehingga rasa takutnya benar-benar hilang.
Musa merasa tenang dan terdiam. Kemudian Allah SWT memerintahkan kepadanya—setelah beliau melihat kedua mukjizat ini, yaitu mukjizat tangan dan mukjizat tongkat—untuk pergi menemui Fir'aun dan berdakwah kepadanya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang dan Allah SWT memerintahkan kepadanya untuk mengeluarkan Bani Israil dari Mesir. Musa menampakkan rasa takutnya kepada Fir'aun. Musa berkata bahwa ia telah membunuh seseorang di antara mereka dan beliau khawatir mereka akan membunuhnya dan membalasnya. Musa meminta kepada Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar mengirim saudaranya Harun bersamanya. Allah SWT menenangkan Musa dengan mengatakan bahwa Dia akan selalu bersama mereka berdua. Dia mendengar dan menyaksikan gerak-gerik dan perbuatan mereka. Meskipun Fir'aun terkenal dengan kejahatannya dan kekuatannya, namun kali ini Fir'aun tidak akan mampu mengganggu atau menyakiti mereka. Allah SWT memberitahu Musa bahwa Dia-lah yang akan menang. Musa berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar melapangkan hatinya dan memudahkan urusannya serta memberinya kekuatan dalam berdakwah di jalan-Nya.
Allah SWT berfirman:
"Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa ? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: 'Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: Hai Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Maka tinggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa'. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa. Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musaf'Ini adalah tongkatku, aku bertelehan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambinghu, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.' Allah berfirman: Lemparkanlah ia, hai Musa!' Lalu dilemparkanlah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Peganglah ia dan janganlah takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar. Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melam-paui batas. Berkata Musa: 'Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahhu, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya telah diperkenankan permintanmu, hai Musa.' Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, yaitu: Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya.' Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Yaitu) ketika saudammu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir'aun): 'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?' Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; maka kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa, dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku. " (QS. Thaha: 9-41)
Kita tidak mengetahui apa yang kita akan katakan dan apa yang kita komentari berkaitan dengan firman Allah SWT kepada salah seorang hamba-Nya: "Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." Allah SWT telah memilih Musa. Itu adalah salah satu puncak kemuliaaan di mana tidak ada seseorang pun di zaman itu yang mampu mencapainya selain Musa. Nabi Musa kembali untuk menemui keluarganya setelah Allah SWT memilihnya sebagai Rasul atau utusan untuk berdakwah ke Fir'aun. Akhirnya, Nabi Musa beserta kaluarganya berjalan menuju ke Mesir. Hanya Allah SWT yang mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas di dalam diri Musa saat beliau mengayunkan langkahnya menuju ke Mesir.
Selesailah masa-masa perenungan dan dimulailah hari-hari kedamaian dan kebahagiaan, dan akhirnya datanglah hari-hari yang sulit. Demikianlah Nabi Musa memikul amanat kebenaran dan pergi untuk menyampaikannya kepada salah satu penguasa yang paling bengis dan paling kejam dan paling jahat di zamannya. Nabi Musa mengetahui bahwa Fir'aun adalah orang yang jahat. Fir'aun akan berusaha memberhentikan langkah dakwahnya dan Fir'aun akan menentangnya tetapi Allah SWT memerintahkannya untuk pergi ke Fir'aun dan berdakwah kepadanya dengan kelembutan dan kasih sayang. Allah SWT mewahyukan kepada Musa bahwa Fir'aun tidak akan beriman tetapi Nabi Musa tidak peduli dengan hal itu. Beliau diperintahkan untuk melepaskan Bani Israil yang sedang disiksa oleh Fir'aun.
Allah SWT berkata kepada Musa dan Harun:
"Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dan katakanlah: 'Sesungguhnya kdmi berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka." (QS. Thaha: 47)
Inilah tugas yang ditentukan, yaitu tugas yang akan berbenturan dengan ribuan tantangan. Fir'aun menyiksa Bani Israil dan menjadikan mereka budak-budak dan memaksa mereka untuk bekerja di luar kemampuan mereka. Fir'aun juga menodai kehormatan wanita-wanita mereka dan menyembelih anak laki-laki mereka. Nabi Musa mengetahui bahwa rezim Mesir berusaha untuk memperbudak Bani Israil dan mengeksploitasi mereka di luar kemampuan mereka demi kepentingan penguasa. Tetapi Nabi Musa tetap memperlakukan dan menghadapi Fir'aun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT padanya:
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS. Thaha: 43-44)
Musa bercerita kepada Fir'aun tentang siapa sebenarnya Allah SWT, tentang rahmat-Nya, tentang surga-Nya, dan tentang kewajiban mengesakan-Nya dan menyembah-Nya. Beliau berusaha mem-bangkitkan aspek-aspek kemanusiaan Fir'aun melalui pembicaraan tersebut. Fir'aun mendengarkan apa yang dikatakan oleh Musa dengan penuh kebosanan. Fir'aun membayangkan bahwa seseorang yang di hadapannya adalah orang gila yang nekad untuk menentang dan menggoyang kedudukannya. Kemudian Fir'aun mengangkat tangannya dan berbicara: "Apa yang engkau inginkan, hai Musa?" Musa menjawab: "Aku ingin agar engkau membebaskan Bani Israil." Fir'aun bertanya: "Mengapa aku harus membebaskan mereka bersamamu sementara mereka adalah budak-budakku?" Musa menjawab: "Mereka adalah hamba-hamba Allah SWT, Tuhan Pengatur alam semesta." Dengan nada mengejek Fir'aun bertanya: "Bukankkah engkau mengatakan bahwa namamu Musa?" Musa menjawab: "Benar." Fir'aun berkata: "Bukankkah engkau yang kami temukan di sungai Nil saat engkau masih kecil yang tidak mempunyai daya dan kekuatan? Bukankkah engkau Musa yang aku didik di istana ini, lalu engkau memakan makanan kami dan meminum air kami, dan engkau menikmati kebaikan-kebaikan dari kami? Bukankah engkau yang membunuh seseorang lalu setelah itu engkau lari? Tidakkah engkau ingat semua itu? Bukankah mereka mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu kekufuran? Kalau begitu, engkau seorang kafir dan engkau seorang pembunuh. Jadi engkau adalah Musa yang lari dari hukum Mesir. Engkau adalah seseorang yang lari dan menghindari keadilan. Lalu sekarang engkau datang kepadaku dan berusaha berbicara denganku. Engkau berbicara tentang apa hai Musa. Sungguh aku telah lupa."
Musa mengerti bahwa Fir'aun mengingatkan padanya tentang masa lalunya dan Fir'aun berusaha menunjukkan kepadanya bahwa ia telah mendidiknya dan berlaku baik padanya. Musa juga memahami bahwa Fir'aun mengancamnya dengan pembunuhan. Musa memberitahu Fir'aun, bahwa ia bukan seorang kafir ketika membunuh seorang Mesir tetapi saat itu beliau melakukannya dengan tidak sengaja. Musa memberitahu Fir'aun bahwa ia lari dari Mesir karena khawatir akan pembalasan mereka. Pembunuhan yang dilakukan olehnya bersifat tidak sengaja. Musa tidak bermaksud untuk membunuh seseorang. Musa telah memberitahu Fir'aun bahwa Allah SWT telah memberinya hikmah dan menjadikannya salah seorang Rasul. Allah SWT menceritakan sebagian dialog antara Musa dan Fir'aun dalam surah as-Syuara' sebagaimana firman-Nya:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): 'Datangilah kaum yang lalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. Mengapa mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.' Allah berfirman: 'Janganlah takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan). Maka datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan katakanlah: 'Sesungguhnya kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.' Fir'aun menjawab: 'Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.' Berkata Musa: 'Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, hemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. " (QS. as-Syu'ara: 10-21)
Kemudian bangkitlah emosi Nabi Musa ketika Fir'aun mengingatkan bahwa ia telah berbuat baik kepada Musa. Musa bangkit dan berbicara kepadanya:
"Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil." (QS. asy-Syu'ara: 22)
Musa ingin berkata kepadanya, apakah engkau mengira bahwa nikmat yang engkau berikan kepadaku lalu engkau merasa telah berbuat baik padaku, di mana aku adalah salah seorang lelaki dari kalangan Bani Israil? Apakah nikmat ini sebanding dengan cara-caramu memperlakukan bangsa yang besar ini di mana engkau memperbudak mereka; engkau memperkerjakan mereka dengan cara yang semena-mena. Jika ini memang demikian maka logika mengatakan bahwa kita seimbang: tiada yang berutang dan tiada yang meminjam. Jika tidak demikian maka siapa yang memberikan bagian yang lebih besar?
Alhasil masalahnya adalah dakwah di jalan Allah SWT, yaitu satu urusan yang aku tidak membawa kepadamu dari diriku sendiri. Aku bukan utusan dari bangsa Bani Israil. Aku bukan juga utusan dari diriku sendiri tetapi aku adalah seorang utusan dari Allah SWT. Aku adalah utusan Tuhan Pengatur alam semesta. Sampai pada tahap ini Fir'aun mulai memasuki pembicaraan lebih serius: Fir'aun bertanya:
"Siapakah Tuhan semesta alam itu?" (QS. asy-Syu'ara': 23) Musa Menjawab:
"Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antaranya keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya." (QS. asy-Syu'ara': 24)
Berkata Fir'aun kepada orang-orang sekelilingnya: "Apakah kamu tidak mendengarkan?" (QS. asy-Syu'ara': 25)
Musa berkata dan tidak mempedulikan ejekan Fir'aun itu:
"Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu. " (QS. asy-Syu'ara': 26)
Fir'aun berkata kepada mereka yang datang bersama Musa dari Bani Israil: "Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila." Musa kembali berkata dan tidak memperhatikan tuduhan Fir'aun dan ejekannya:
"Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal. " (QS. asy-Syu'ara': 28)
Allah SWT menceritakan sebagian dialog yang terjadi antara Fir'aun dan Musa dalam surah as-Syu'ara':
"Fir'aun bertanya: 'Siapakah Tuhan semesta alam itu?' Musa Menjawab: 'Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.' Berkata Fir'aun kepada orang-orang sekelilingnya: 'Apakah kamu tidak mendengarkan?' Musa berkata: "Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.' Fir'aun berkata: 'Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar oranggila.' Musa berkata: 'Tukanyang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.'" (QS. asy-Syu'ara': 23-28)
Allah SWT mengingatkan dalam surah Thaha sebagian dari peristiwa pertemuan antara Fir'aun dan Nabi Musa. Allah SWT berfirman:
"Maka datanglah kamu kedua kepadanya (Fir'aun) dan katakanlah: 'Sesungguhnya kami berdua adalah utnsan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.' Berkata Fir'aun: 'Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa.' Musa berkata: 'Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk hejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.' Berkata Fir'aun: 'Maka bagaimanakah headaan-keadaan umat-umat yang dahulu? Musa menjawab: 'Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab. Tuhan kami tidak akan salah dan tidak akan salah (pula) lupa.'" (QS. Thaha: 47-52)
Kita perhatikan bahwa Fir'aun tidak bertanya kepada Nabi Musa tentang Tuhan Pengatur alam atau Tuhan Musa dan Harun dengan maksud bertanya sesungguhnya atau pertanyaan yang bermaksud untuk mengetahui kebenaran tetapi perkataan yang dilontarkan Fir'aun semata-mata hanya untuk mengejek. Nabi Musa as menjawabnya dengan jawaban yang sempurna dan mengena. Nabi Musa berkata: "Sesungguhnya Tuhan kami adalah Dia yang memberi sesuatu ciptaannya kemudian Dia membimbing ciptaannya. Dialah sang Pencipta. Dia menciptakan berbagi macam makhluk dan Dia juga yang membimbingnya sesuai dengan kebutuhannya sehinga makhluk-makhluk tersebut dapat menjalani kehidupan dengan baik. Allah SWT-lah yang megerahkan segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menguasai segala sesuatu; Allah SWT-lah yang mengetahui segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menyaksikan segala sesuatu." Al-Qur'an al-Karim mengungkapkan semua itu dalam ungkapan yang sederhana namun padat artinya, yaitu dalam firman-Nya:
"Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (QS. Thaha: 50)
Kemudian Fir'aun bertanya, "lalu bagaimana keadaan manusia-manusia yang hidup di abad-abad pertama di mana mereka tidak menyembah Tuhanmu ini?" Fir'aun masih ingkar dan mengejek dakwah Nabi Musa. Nabi Musa menjawab: "Bahwa masa-masa yang dahulu di mana mereka tidak menyembah Allah SWT adalah masalah yang semua itu berada di sisi Allah SWT. Atau dalam kata lain, semua itu diketahui oleh Allah SWT. Keadaan di masa-masa yang dahulu tercatat dalam kitab Allah SWT. Allah SWT menghitung apa yang mereka keijakan di dalam kitab. Allah SWT tidak pernah lupa." Jawaban Nabi Musa tersebut berusaha menenangkan Fir'aun tentang orang-orang yang hidup di masa-masa pertama. Jadi Allah SWT mengetahui segala sesuatu dan mencatat apa saja yang dilakukan manusia dan Allah SWT tidak menyia-nyiakan pahala mereka. Kemudian Nabi Musa kembali menyempurnakan dan menyelesaikan pembicaraannya tentang sifat Tuhannya:
"Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah menjadihan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang dernikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan darinya Kami akan mengembalikan kamu dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kaliyang lain. " (QS. Thaha: 53-55)

Nabi Syu'aib AS

baiklah kali ini kita akan membahas mengenai kisah Nabi Syu'aib AS pada zaman rasul,Banyak orang di zaman kita beranggapan bahwa agama hanya merupakan program-program yang kosong dan nilai-nilai akhlak semata. Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada hakikatnya, agama adalah sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah hubungan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, usaha memisahkan antara problem-problem tauhid dan perilaku manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari berarti memisahkan agama dari kehi­dupan dan mengubahnya menjadi adat-istiadat, tradis-tradisi, dan acara-acara ritual yang hampa. Kisah Nabi Syu'aib menampakkan hal yang demikian secara jelas.
Allah SWT mengutus Syu'aib pada penduduk Madyan:
"Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka, Syu 'aib. Ia berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.'" (QS. Hud: 84)
Ini adalah dakwah yang sama yang diserukan oleh setiap nabi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara satu nabi dan nabi yang lain. Ia merupakan dasar akidah dan tanpa dasar ini mustahil suatu bangunan akan berdiri. Setelah peletakan bangunan tersebut, Syu'aib mulai menyuarakan dakwahnya:
"Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS. Hud: 84)
Setelah menjelaskan masalah tauhid secara langsung, Nabi Syu'aib berpindah pada masalah muamalah sehari-hari yang berkenaan dengan kejujuran dan keadilan. Adalah hal yang terkenal pada penduduk Madyan bahwa mereka mengurangi timbangan dan mereka tidak memberikan hak-hak manusia. Ini adalah suatu kehinaan yang menyentuh kesucian hati dan tangan sebagaimana menyentuh kesempurnaan harga diri dan kemuliaan.
Para penduduk Madyan beranggapan bahwa mengurangi tim­bangan adalah salah satu bentuk kelihaian dan kepandaian dalam jual-beli serta bentuk kelicikan dalam mengambil dan membeli. Kemudian nabi mereka datang dan mengingatkan bahwa hal tersebut merupakan hal yang hina dan termasuk pencurian. Nabi Syu'aib memberitahukan kepada mereka bahwa beliau khawatir jika mereka meneruskan perbuatan keji itu niscaya akan turun kepada mereka azab di mana manusia tidak akan dapat menghindar dari siksaan itu. Perhatikanlah bagaimana campur tangan Islam melalui Nabi Syu'aib yang diutus kepada manusia di mana ia memperhatikan persoalan jual-beli dan mengawasinya:
"Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Hud: 85)
Nabi Syu'aib meneruskan misi dakwahnya. Beliau mengulang-ulangi nasihatnya kepada mereka dengan cara yang baik dan mengajak ke jalan yang baik, tidak ke jalan yang buruk; beliau menghimbau kepada mereka untuk menegakkan timbangan dengan keadilan dan kebenaran dan mengingatkan mereka agar jangan merampas hak-hak orang lain. Merampas hak-hak orang lain itu tidak terbatas pada jual-beli saja, namun juga berhubungan dengan perbuatan-perbuatan lainnya; beliau memerintahkan mereka untuk menegakkan timbangan keadilan dan kejujuran. Demikianlah seruan dari agama tauhid dan akidah tauhid di mana ia selalu menyuarakan kejujuran dan keadilan.
Agama selalu memerintahkan manusia untuk menjalin kerjasama sesama mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang bijaksana dan baik, baik menyangkut hubungan kerja, hubungan pribadi maupun hubungan lainnya. Al-Qur'an al-Karim mengatakan: "Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka. "Dan kata as-Syai' (sesuatu) dalam ayat tersebut diucapkan kepada hal-hal yang bersifat materi dan yang bersifat non-materi (rohani) di mana masuk dalam katagori itu perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan yang menghasilkan. Al-Qur'an melarang segala bentuk kelaliman, baik kelaliman berkenaan dengan menimbang buah-buahan atau sayur-sayuran maupun kela­liman dalam bentuk tidak memberikan penghargaan terhadap usaha manusia dan pekerjaan mereka. Sebab, kelaliman terhadap manusia akan menciptakan suasana ketidakharmonisan yang berakibat pada timbulnya penderitaan, sikap putus asa, dan sikap tidak peduli, sehingga pada akhirnya hubungan sesama manusia berjalan tidak harmonis dan menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan. Oleh katrena itu, Al-Qur'an mengingatkan agar jangan sampai ada manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi:
"Dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dart Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorangpenjaga atas dirimu." (QS. Hud: 85-86)
Yang dimaksud al-'Atsu ialah sengaja membuat kerusakan dan bertujuan untuk membuat kerusakan. Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi; janganlah kalian sengaja untuk menciptakan keonaran di muka bumi. Apa yang ada di sisi Allah SWT adalah hal yang terbaik buat kalian jika kalian benar-benar ber­iman. Kemudian Nabi Syu'aib memberitahu kepada mereka bahwa ia tidak memiki sesuatu kepada mereka; ia tidak dapat menguasai mereka tidak juga ia selalu mengawasi mereka. Beliau hanya sekadar seorang rasul atau utusan untuk menyampaikan ajaran Tuhannya:
"Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu. " (QS. Hud: 86)
Dengan cara yang demikian, Nabi Syu'aib menjelaskan kaumnya bahwa masalah yang mereka hadapi saat ini sangat penting dan sangat serius, bahkan sangat berat. Beliau memberitahu mereka akibat yang bakal mereka terima jika mereka membuat kerusakan. Selesailah bagian pertama dari dialog Nabi Syu'aib bersama kaumnya. Nabi Syu'aib telah mengawali pembicaraan dan kaumnya mendengarkan. Kemudian beliau berhenti dari pembicaraannya dan sekarang kaum membuka pembicaraan:
"Mereka berkata: 'Hai Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang hand berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal " (QS. Hud: 87)
Para penduduk Madyan yang kafir mereka biasa merampok dan menyembah al-Aikah, yaitu pohon dari al-Aik yang dikelilingi oleh dahan-dahan yang berputar di sekelilingnya. Mereka termasuk orang-orang yang menjalin hubungan sesama manusia dengan cara-cara yang sangat keji. Mereka suka mengurangi timbangan; mereka mengambil yang lebih darinya dan tidak menghiraukan kekurangannya. Perhatikanlah semua itu dalam dialog mereka bersama Syu'aib. Mereka berkata, "wahai Syu'aib apakah agamamu yang memerintahkanmu...?" Seakan-akan agama ini mendorong Syu'aib dan membisikinya serta memerintahnya sehingga ia menaati tanpa pertimbangan dan pemikiran. Sungguh Syu'aib telah berubah dengan agamanya itu menjadi alat yang bergerak dan alat yang tidak sadar. Demikianlah celaaan dan tuduhan keji yang dialamatkan oleh kaum Nabi Syu'aib kepadanya. Agama Syu'aib telah membuatnya gila dan membuatnya nekat untuk memerintahkan mereka meninggalkan apa yang selama ini mereka sembah dan disembah oleh kakek-kakek mereka. Kakek-kakek mereka telah menyembah tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan sementara agama Syu'aib memerintahkan mereka untuk hanya menyembah Allah SWT. Kenekatan model apa dari Syu'aib ini?
Dengan ejekan dan penghinaan ini, Nabi Syu'aib menghadapi dialog yang terjadi dengan mereka. Kemudian mereka kembali bertanya-tanya dengan penuh keheranan dan dengan nada mengejek: "Apakah agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami." Tidakkah engkau sadar wahai Syu'aib bahwa agamamu ingin mencampuri keinginan kita dan cara kita menggunakan harta kita? Apakah hubungan keimanan dan salat dengan muamalah materi?
Dengan pertanyaan ini, kaum Nabi Syu'aib mengira bahwa mereka mencapai suatu tingkat kecerdasan. Mereka mengemukakan di hadapannya problem keimanan, dan mereka mengingkari adanya keterkaitan antara perilaku manusia dan muamalah mereka serta perekonomian mereka. Ini adalah masalah yang klasik; ini adalah usaha untuk memisahkan antara ekonomi dan Islam di mana setiap nabi justru di utus untuknya meskipun nama-nama mereka berbeda-beda; ini adalah masalah kuno yang diungkap oleh kaum Nabi Syu'aib di mana mereka mengingkari bahwa agama turut campur dalam kehidupan sehari-hari mereka, perekonomian mereka dan cara mereka menggunakan harta mereka. Mereka menganggap bahwa menginfakkan harta atau menggunakannya atau menghambur-hamburkannya adalah suatu yang tidak berhubungan dengan agama. Hal itu menyangkut kebebasan pribadi manusia. Bukankah itu hartanya yang khusus lalu mengapa agama turut campur di dalamnya?
Demikianlah pemahaman kaum Nabi Syu'aib kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Syu'aib. Kami kira pemahaman demikian sedikit atau banyak tidak berbeda dengan pemahaman banyak masyarakat di zaman kita sekarang mereka menganggap bahwasannya Islam tidak memiliki kaitan dengan kehidupan pribadi manusia dan kehidupan perekonomian mereka. Oleh karena itu, manusia dapat menggunakan harta mereka sesuai dengan kemauan mere­ka: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal."
Mereka ingin mengatakan kepada Nabi Syu'aib, seandainya engkau seorang yang bijaksana dan memiliki pemikiran yang matang niscaya engkau tidak akan mengatakan apa yang telah engkau katakan. Mereka kembali mengejek Nabi Syu'aib dan merendahkan dakwahnya. Seandainya Anda bertanya kepada kaum Nabi Syu'aib tentang pemahaman agama mereka maka mereka pasti mengingkari bahwa agama adalah sebagai sistem dalam kehidupan yang menjadikan hidup lebih mulia, lebih suci, lebih adil dan lebih pantas manusia untuk menjabat sebagai khalifatullah di muka bumi; seandainya Anda bertanya kepada mereka tentang agama niscaya mereka memberitahumu bahwa ia hanya berupa kumpulan nilai-nilai rohani yang baik yang tidak mewarnai kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman seperti ini, agama hanya sekadar hiasan. Ini adalah pemahaman yang menggelikan karena Allah SWT mengutus para nabi dan ajaran-ajaran yang mereka bawa bukan untuk perhiasan dan main-mainan. Maha Suci Allah SWT dari semua itu. Allah SWT mengutus para nabi-Nya dengan membawa sistem baru dalam kehidupan, yaitu sistem yang mencakup nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran yang itu semua tidak akan bermakna jika tidak berubah menjadi suatu sistem dalam kehidupan secara umum dan mengatur kehidupan secara khusus. Dengan pemahaman seperti inilah agama menjadi mulai dan agama menjadi benar adanya. Dan dengan asumsi seperti ini, kita memahami seberapa jauh campur tangan agama dalam persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari: dimulai dari hubungan-hubungan cinta sampai undang-undang perkawinan, bahkan cara mengambil keputusan hidup sampai sistem dalam menginfakkan uang dan menggunakannya, juga sistem dalam cara menggunakan dan mendistribusikan kekayaan dan sebagainya. Jika manusia memahami agama seperti ini makajadilah agama sesuatu kebenaran. Dan kalau tidak, agama laksana puing-puing saja.
Nabi Syu'aib mengetahui bahwa kaumnya mengejeknya karena mereka menganggap agama tidak turut campur dalam kehidupan sehari-hari. Namun, beliau menghadapi semua itu dengan penuh kelembutan dan kasih sayang karena beliau yakin apa yang beliau bawa adalah kebenaran. Beliau tidak peduli dengan ejekan mereka dan tidak tersinggung dengannya dan tidak mempersoalkan hal itu; beliau memberi pengertian kepada mereka bahwa beliau berada di atas kebenaran dari Tuhannya; beliau adalah seorang nabi yang mengetahui kebenaran; beliau tidak melarang mereka untuk meninggalkan sesuatu yang di balik larangan itu mendatangkan keuntungan pribadi buatnya; beliau tidak ingin menasihati mereka dalam kejujuran agar pasar menjadi sepi dan karenanya beliau mengambil manfaat; beliau hanya sekadar seorang nabi di mana dakwah setiap nabi tergambar dalam ungkapan yang singkat:
"Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. " (QS. Hud: 88)
Yang beliau inginkan hanya al-Islah (usaha membuat perbaikan). Demikanlah kandungan dan inti dakwah para nabi yang sebenarnya. Mereka adalah al-Muslihun, yaitu orang-orang yang mem­buat perbaikan; mereka memperbaiki akal, memperbaiki hati dan memperbaiki kehidupan yang umum dan kehidupan yang khusus:
"Syu'aib berkata: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.'" (QS. Hud: 88)
Setelah Nabi Syu'aib menjelaskan tujuan-tujuannya kepada mereka dan menyingkapkan kebenaran dakwahnya, beliau mulai mengotak-atik akal-akal rnereka; beliau mengungkapkan kepada mereka bagaimana pergulatan orang-orang sebelum mereka dengan para nabi sebelumnya, yaitu kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Saleh, dan kaum Nabi Luth yang masa mereka ddak jauh dengan masa Nabi Syu'aib. Beliau mulai berdialog dengan mereka dan mengingatkan mereka bahwa sikap penentangan mereka justru akan mendatangkan siksaan bagi mereka. Nabi Syu'aib mengingatkan mereka bagaimana nasib orang-orang yang mendustakan kebenaran:
"Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpah kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan mohonlah ampun dari Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. " (QS. Hud: 89-90)
Usai Nabi Syu'aib berdakwah kepada Allah SWT dan menjelaskan al-ishlah (usaha memperbaiki masyarakat) dan mengingatkan mereka bahaya penentangan serta menakut-nakuti mereka dengan menceritakan kembali siksaan yang diterima orang-orang yang berbohong sebelum mereka. Meskipun demikian, Nabi Syu'aib tetap membukakan pintu pengampunan dan pintu taubat bagi mereka. Beliau menunjukkan kepada mereka kasih sayang Tuhannya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Namun kaum Nabi Syu'aib memilih azab. Kekerasan hati mereka dan keinginan mereka untuk mendapatkan harta yang haram serta rasa puas dengan sistem yang mengatur mereka, semua itu menyebabkan mereka menolak kebenaran:
"Mereka berkata: 'Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.'" (QS. Hud: 91)
Kami tidak memahamimu. Engkau adalah seorang yang mengacau; engkau mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti:
"Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami." (QS. Hud: 91)
Beliau dikatakan sebagai orang yang lemah karena orang-orang fakir dan orang-orang yang rrienderita adalah orang-orang yang beriman padanya, sedangkan orang-orang kaya dan para pembesar telah menentang mereka. Demikianlah pertimbangan umumnya manusia yang tidak memiliki kekuatan cukup untuk menghadapi kebenaran dakwah Nabi Syu'aib di mana beliau dianggap sebagai orang yang lemah:
"Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami akan merajammu."(QS. Hud: 91)
Seandainya kalau bukan karena keluargamu dan kaummu dan orang-orang yang mengikutimu niscaya kami akan menggali suatu lubang dan kami akan bunuh kamu dilubang itu dengan cara melempari kamu dengan batu:
"Sedang kamu pun bukanlah seorangyang berwibawa di sisi kami." (QS. Hud: 92)
Kaum Nabi Syu'aib berpindah dari cara mengejek pada cara menyerang. Nabi Syu'aib telah menyampaikan bukti kepada mereka setelah mereka mengejeknya, lalu mereka mengubah cara mereka berdialog. Mereka memberitahunya bahwa mereka tidak memahami apa yang beliau katakan dan mereka melihat bahwa Nabi Syu'aib sebagai orang yang lemah dan hina. Dan seandainya kalau bukan karena mereka takut (kasihan) kepada keluarganya niscaya mereka akan membunuhnya. Mereka menampakkan kebencian kepada Nabi Syu'aib dan ingin sekali untuk membunuhnya kalau bukan karena alasan-alasan yang berhubungan dengan keluarganya. Menghadapi ancaman itu, Nabi Syu'aib tetap menunjukkan sikap lembutnya lalu beliau bertanya kepada mereka dengan maksud untuk menggugah kesekian kalinya akal mereka:
"Syu 'aib menjawab: 'Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah. " (QS. Hud: 92)
Apakah cukup rasional jika mereka membayangkan hal tersebut? Mereka melupakan hakikat kekuatan yang mengatur alam. Sesungguhnya hanya Allah SWT Yang Maha Mulia dan Maha Kuat. Seharusnya mereka mengingat hal itu; seharusnya seseorang tidak takut kepada apapun selain Allah SWT dan tidak membandingkan kekuatan di alam wujud ini dengan kekuatan Allah SWT. Hanya Allah SWT Yang Kuat dan hanya Dia yang mengatur hamba-hamba-Nya.
Tampak bahwa kaum Nabi Syu'aib mulai kesal dan semakin kesal dengannya, lalu berkumpullah para pembesar kaumnya:
"Pemuka-pemuka dari kaum Syu 'aib yang menyombongkan diri berkata: 'Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan dengan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami.'" (QS. al-A'raf: 88)
Mereka menggunakan tahap baru dengan cara mengancam Nabi Syu'aib; mereka mengancamnya untuk membunuh dan mengusir dari desa mereka; mereka memberi pilihan kepada Nabi Syu'aib antara terusir dan kembali kepada agama mereka yang menyembah pohon-pohon dan benda-benda mati. Nabi Syu'aib memberitahu kepada mereka bahwa masalah kembalinya ia ke agama mereka adalah masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah yang disebutkan dalam perjanjian. Sungguh Allah SWT telah menyelamatkan beliau dari agama mereka lalu bagaimana beliau kembali lagi padanya? Beliau yang mengajak mereka pada agama tauhid lalu bagaimana beliau mengajak mereka untuk kembali pada kesyirikan dan kekufuran? Beliau mengajak mereka dengan cara yang lembut dan kasih sayang sementara mereka mengancamnya dengan kekuatan.
Demikianlah pertentangan antara Nabi Syu'aib dan kaumnya semakin berlanjut. Nabi Syu'aib memegang amanat dakwah untuk menghadapi para pembesar, para pendusta, dan para penguasa kaumnya. Akhirnya, Nabi Syu'aib mulai mengetahui bahwa mereka tidak lagi memiliki harapan karena mereka telah berpaling dari Allah SWT:
"Sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya pengetahuan Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan. Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan). Sesungguh­nya aku pun menunggu bersama kamu." (QS. Hud: 92-93)
Nabi Syu'aib berlepas diri dari mereka. Mereka telah berpaling dari agama Allah SWT bahkan telah mendustakan nabi-Nya dan menuduhnya bahwa ia tersihir dan seorang pembohong. Maka, setiap orang hendaklah melakukan apa saja yang diinginkannya dan hendaklah mereka menunggu azab Allah SWT. Kemudian pergulatan antara Nabi Syu'aib dan kaumnya berakhir adanya fase baru. Mereka meminta kepada Nabi Syu'aib untuk mendatangkan azab dari langit jika beliau termasuk orang-orang yang benar. Dengan nada mencibir dan menantang, mereka berkata: "di mana azab itu, di mana siksaan yang dijanjikan itu? Mengapa terlambat datang?"
Mereka mengejek Nabi Syu'aib dan beliau dengan tenang menunggu datangnya azab Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada beliau agar keluar bersama orang-orang mukmin dari desa tersebut. Akhirnya, Nabi Syu'aib keluar bersama para pengikutnya dan datanglah azab Allah SWT:
"Dan takkala datang azab Kami. Kami selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari kami, dan orang-orang lalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa." (QS. Hud: 94-95)
Ia adalah teriakan sekali saja satu suara yang datang kepada mereka dari celah-celah awan yang menyelimuti. Mula-mula mereka barangkali bergembira karena membayangkan itu akan membawa hujan tetapi mereka dikagetkan ketika datang kepada mereka siksaan yang besar pada hari yang besar.
Selesailah masalah ini. Mereka menyadari bahwa teriakan itu membawa bencana buat mereka; teriakan itu menghanguskan setiap makhluk yang ada di dalam negeri itu. Mereka tidak mampu bergerak dan tidak mampu menyembunyikan diri dan tidak pula mereka dapat menyelamatkan diri mereka.

Followers

Translate

 

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.