Penulis: Al Ustadz Alfian
1. Ru’yatul Hilal
2. Ikmal (menggenapkan) bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ini
dilakukan apabila tidak berhasil melakukan ru’yatul hilal, baik karena
mendung ataupun karena faktor-faktor lainnya.
a Ar-Ru`yah : artinya melihat atau mengamati dengan
menggunakan mata atau penglihatan.
b Al-Hilâl : Bulan sabit yang paling awal terlihat pada
permulaan bulan (asy-syahr).
Kenapa dinamakan Al-Hilâl?
- Al-Hilâl berasal dari kata ( هَلَّ – أَهَلَّ) halla, ahalla
artinya : “tampak atau terlihat.” Dinamakan demikian, karena merupakan
bentuk Bulan Sabit yang pertama kali tampak pada awal bulan.
- Sebab lain kenapa dinamakan Al-Hilâl adalah, karena orang-orang
yang melihatnya berseru ketika memberitakannya. Syaikhul Islâm Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata : “Al-Hilâl adalah nama untuk sesuatu
yang ditampakkan, yakni disuarakan. Penyuaraan itu tidak akan bisa
terjadi kecuali jika bisa diketahui oleh penglihatan atau pendengaran.”
Jadi dinamakan dengan Al-Hilâl karena itu merupakan bentuk Bulan
yang paling awal tampak dan terlihat, orang yang melihatnya berseru
untuk memberitakan bahwa Al-Hilâl sudah terlihat.
Yang dinamakan dengan Al-Hilâl adalah khusus untuk bulan sabit pada
malam pertama dan kedua saja, ada juga yang berpendapat hingga malam
ketiga, ada pula yang berpendapat hingga malam ke-7. Adapun selebihnya
tidak dinamakan dengan Al-Hilâl.
Dalam bahasa Indonesia, Al-Hilâl sering disebut Bulan Sabit Termuda.
Walaupun dari sisi asal-usul dan sebab penamaan tidak sama.
1. Ru`yatul Hilâl dalam pengertian syara’ adalah :
Melihat Al-Hilâl dengan mata atau penglihatan, pada saat terbenamnya
Matahari pada petang hari ke-29 akhir bulan, oleh saksi yang dipercaya
beritanya dan diterima kesaksiannya. Sehingga dengan itu diketahui bulan
(asy-syahr) baru telah masuk.
Jadi, dalam ketentuan Syari’at Islam, masuknya bulan baru tidak
semata-mata ditandai dengan wujûd (keberadaan) Al-Hilâl di atas ufuk,
yaitu kondisi ketika Matahari tenggelam lebih dahulu daripada Bulan
setelah peristiwa ijtimâ’ (ijtimak/kunjungsi) ). Tapi masuknya bulan
baru dalam ketentuan Syari’at Islam ditandai dengan terlihatnya
Al-Hilâl. Meskipun secara perhitungan Al-Hilâl sudah wujud namun pada
kenyataannya tidak terlihat, maka berarti belum masuk bulan baru.
Dalil-dalil Ru’yatul Hilal
a. Dari shahabat Ibnu ‘Umar c :
أن رسول الله – – ذكر رمضان فقال : « لا تصوموا حتى تروا
الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له »
Bahwa Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan, maka beliau berkata :
“Janganlah kalian bershaum hingga kalian melihat al-hilâl, dan janganlah
kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi
(oleh mendung, debu, atau yang lainnya) maka tentukan/perkirakanlah
untuknya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh : Al-Bukhari 1906; Muslim 1080;
An-Nasâ’i no. 2121; Demikian juga Mâlik dalam Al-Muwaththa` no. 557;
Ahmad (II/63)
« الشهر تسع وعشرون، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا
حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
“Satu bulan itu dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kalian
memulai ibadah shaum sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah
kalian ber’idul fitri sampai kalian melihatnya. Jika terhalang atas
kalian maka sempurnakanlah bilangan (bulan menjadi) tiga puluh (hari).”
Diriwayatkan oleh Al-Imâm Al-Bukhâri 1907; Asy-Syâfi’i dalam
Musnad-nya no. 435 (I/446). Dalam riwayat lain dengan lafazh :
« فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له
ثلالين »
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idulfitrilah
kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Jika (Al-Hilâl) terhalangi atas
kalian, maka tentukanlah untuk (bulan tersebut menjadi) tiga puluh.”
Diriwayatkan oleh Al-Imâm Muslim 1080. Diriwayatkan pula oleh Abû
Dâwûd no. 2320 Dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan lafazh :
« لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ »
“Janganlah kalian memulai ibadah shaum sampai kalian melihat
Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian melihat
Al-Hilâl. Jika terhalang atas kalian maka bershaumlah kalian selama tiga
puluh (hari).”
Al-Imâm Al-Baihaqi v meriwayatkan dalam Sunan-nya (IV/205) no. 7720
melalui jalur Nâfi dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah bersabda
« إن الله تبارك وتعالى جعل الأهلة مواقيت، فإذا رأيتموه
فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فاقدروا له أتموه ثلاثين »
“Sesungguhnya Allah Tabâraka wa Ta’âlâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai
tanda-tanda waktu. Maka jika kalian melihatnya mulailah kalian
bershaum, dan jika kalian melihatnya ber’idulfitrilah kalian. Namun jika
terhalang atas kalian, maka perkirakanlah dengan menggenapkannya
menjadi tiga puluh hari.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya
(III/201) no. 1906. Demikian juga diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq dalam
Mushannaf-nya no. 7306 dengan lafazh :
إن الله جعل الأهلة مواقيت للناس، فصوموا لرؤيته وأفطروا
لرؤيته، فإن غم عليكم فعدوا له ثلاثين يوما
“Sesungguhnya Allah menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu
bagi manusia. Maka mulailah ibadah shaum kalian berdasarkan ru`yatul
hilâl, dan ber’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Jika
hilâl terhalangi atas kalian, maka hitunglah (bulan tersebut) menjadi
tiga puluh hari.” Hadits ini dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad
Nâshiruddîn Al-Albâni dalam Shahîh Al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3093, lihat
pula Tarâju’ât Al-’Allâmah Al-Albâni fit Tash-hih no. 49. b. dari
shahabat Abû Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :
« إذا رأيتم الهلال فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم
عليكم فصوموا ثلاثين يوماً »
“Jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka bershaumlah kalian, dan jika
kalian telah melihat Al-Hilâl maka ber’idul fitrilah kalian. Namun jika
(Al-Hilâl) terhalang atas kalian, maka bershaumlah kalian selama 30
hari.”
Diriwayatkan oleh Muslim v 1081 An-Nasâ`i no. 2119; Ibnu Mâjah no.
1655; dan Ahmad (II/263, 281). Dalam riwayat lain dengan lafazh :
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم الشهر فعدوا
ثلاثين »
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan beri’idulfitrilah
kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila asy-syahr (al-hilâl)
terhalangi atas kalian maka hitunglah menjadi tiga puluh hari.”
Dalam riwayat Al-Bukhâri dengan lafazh :
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم فأكملوا عدة
شعبان ثلاثين » .
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan beri’idulfitrilah
kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila (al-hilâl) terhalangi atas
kalian maka sempunakanlah bilangan bulan Sya’bân menjadi tiga puluh
hari.”
c. dari shahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs c bahwa Rasulullah bersabda :
« لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ
ثَلاَثِينَ »
“Janganlah kalian melaksanakan shaum hingga kalian melihat Al-Hilâl,
dan janganlah kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya. Jika
(al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan
menjadi 30 hari.”
Diriwayatkan oleh : Al-Imâm Mâlik dalam Muwaththa` no. 559.
عَجِبْتُ مِمَّنْ يَتَقَدَّمُ الشَّهْرَ، وَقَدْ قَالَ
رَسُولُ اللهِ : « إِذَا رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ فَصُومُوا، وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ »
“Saya heran dengan orang yang mendahului bulan (Ramadhan), padahal
Rasulullah telah bersabda : “Jika kalian telah melihat al-Hilâl maka
bershaumlah, dan jika kalian melihatnya maka ber’idul fitrilah. Kalau
(al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan
menjadi 30 hari.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (2125) Ahmad (I/221) dan Ad-Dârimi
(1739). Lihat Al-Irwâ` no. 902. d. Al-Imâm Abû Dâwûd meriwayatkan dengan
sanadnya (no. 2325) dari shahabat ‘Âisyah x berkata :
« كَانَ رَسُولُ اللهِ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ
مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ ،
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ ، عَدَّ ثَلاَثِينَ يَوْمًا ، ثُمَّ صَامَ »
“Dulu Rasulullah senantiasa berupaya serius menghitung (hari sejak)
hilâl bulan Sya’bân, tidak sebagaimana yang beliau lakukan pada
bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau bershaum berdasarkan ru’yah (hilâl)
Ramadhan. Namun apabila (al-hilâl) terhalangi atas beliau, maka beliau
menghitung (Sya’bân menjadi) 30 hari, kemudian (esok harinya) barulah
beliau bershaum.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imâm Ahmad (VI/149), Ibnu
Khuzaimah (1910), Ibnu Hibbân (3444), Al-Hâkim (I/423) Al-Baihaqi
(IV/406). Ad-Dâraquthni menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan shahih.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd no.
2325.
Dari seluruh hadits di atas, dapat diambil kesimpulan :
1. Rasulullah memerintahkan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan
dan pelaksanaan ‘Idul Fitri dan ‘Idul ‘Adha berdasarkan ru`yatul hilâl,
yaitu apakah al-hilâl sudah terlihat ataukah belum. Tidak semata-mata
al-hilâl telah wujud ataukah belum. Inilah yang dipahami oleh
para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena mereka memberikan
judul bab untuk hadits-hadits tersebut, yang menunjukkan pemahaman dan
kesimpulan mereka terhadap makna lafazh-lafazh pada hadits-hadits
tersebut. Di antaranya : Al-Imâm An-Nawawi memberikan bab untuk
hadits-hadits di atas dalam kitab beliau Syarh Shahîh Muslim :
بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ
لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ
أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Bab : Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan
ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul
hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan)
maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari. Al-Imâm Ad-Dârimi dalam
Sunan –nya memberikan bab :
بَاب الصَّوْمِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ
Bab : Ash-Shaum berdasarkan
ru`yatul hilâl
2. Rasulullah melarang untuk memulai ibadah shaum Ramadhan atau
merayakan ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha sebelum al-hilâl benar-benar
terlihat oleh mata. Al-Imâm Ibnu Hibbân menyebutkan bab dalam Shahîh-nya
:
ذكر الزجر عن أن يصام من رمضان إلا بعد رؤية الهلال له
“Penyebutan dalil tentang larangan untuk bershaum Ramadhan kecuali
setelah al-hilâl terlihat.”
3. Apabila pada malam ke-30 al-hilâl tidak bisa dilihat, baik karena
mendung, debu, atau yan lainnya, maka wajib menempuh cara istikmâl,
yaitu menggenapkan bulan tersebut menjadi 30 hari. Al-Imâm An-Nawawi
telah menyebutkan bab :
بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ
وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ
أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Bab : Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan
ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul
hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan)
maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari.
4. Dalam satu bulan itu bisa jadi 29 hari, bisa jadi 30 hari.
5. Dalam penentuan masuk dan keluar bulan-bulan qamariyah, kaum
muslimin tidak membutuhkan tulisan dan ilmu hisab. Karena untuk
menentukannya, umat Islam cukup dengan cara ru`yatul hilâl atau
istikmâl.
6. Landasan syar’i dalam penentuan Ramadhan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul
Adha adalah dengan ru`yatul hilal atau istikmâl.
7. Hikmah dan fungsi keberadaan Al-Hilâl, adalah sebagai tanda-tanda
waktu bagi umat manusia. Terlihatnya al-hilâl sebagai tanda dimulai dam
diakhiri pelaksanaan shaum Ramadhan. Al-Imâm Ibnu Khuzaimah telah
meletakkan bab :
باب ذكر البيان أن الله جل وعلا جعل الأهلة مواقيت للناس
لصومهم وفطرهم إذ قد أمر الله على لسان نبيه عليه السلام بصوم شهر رمضان
لرؤيته والفطر لرؤيته ما لم يغم قال الله عز وجل { يسألونك عن الأهلة قل هي
مواقيت للناس } الآية
Bab : Penjelasan bahwasanya Allah Jalla wa ‘alâ menjadikan
hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia dalam memulai
ibadah shaum mereka atau ‘idul fitri mereka. Karena Allah telah
memerintahkan melalui lisan Nabi-Nya untuk memulai shaum bulan
Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idul fitri juga berdasarkan
ru`yatul hilâl jika memang al-hilâl tidak terhalangi. Allah berfirman :
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilâl-hilâl. Katakanlah: “itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia.”
8. Rasulullah tidak pernah mengajarkan untuk menjadikan ilmu hisab
sebagai dasar penentuan Ramadhan, ‘Idul Ftri, dan ‘Idul Adha.
9. Kesalahan sebagian orang dalam menafsirkan sabda Nabi فاقدروا له
(Perkirakanlah) bahwa yang dimaksud adalah menggunakan ilmu hisab.
Karena makna lafazh tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi sendiri, yaitu
maknanya adalah menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Tentunya
yang paling mengerti tentang makna dan maksud sabda Nabi adalah beliau
sendiri. Sebaik-baik tafsir tentang makna dan maksud suatu hadits adalah
hadits yang lainnya. Al-Imâm Ibnu Khuzaimah :
باب ذكر الدليل على أن الأمر بالتقدير للشهر إذا غم أن يعد
شعبان ثلاثين يوما ثم يصام
Bab : Penyebutan dalil bahwa perintah untuk memperkirakan bilangan
bulan apabila al-hilâl terhalangi (tidak terlihat) maksudnya adalah
dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari, kemudian
(esok harinya) bershaum. Al-Imâm Ibnu Hibbân :
باب ذكر البيان بأن قوله : ( فاقدروا له ) أراد به أعداد
الثلاثين
Bab : “Penyebutan dalil bahwa makna sabda Nabi (فاقدروا له )
(perkirakanlah) adalah dengan menggenapkan menjadi 30 hari.
10. Nabi melarang untuk mendahului bershaum sebelum masuk bulan
Ramadhan, baik sehari atau dua hari sebelumnya. Nabi juga melarang
bershaum pada hari ke-30 Sya’bân yang pada malam harinya al-hilâl tidak
terlihat. 11. Nabi mengajarkan kepada kaum muslimin untuk
memperhatikan dan menghitung secara serius hari-hari bulan Sya’bân dalam
rangka mempersiapkan diri melakukan ru`yatul hilâl Ramadhan. Al-Imâm
Ibnu Hibbân meletakan sebuah bab :
ذكر البيان بأن المرء عليه إحصاء شعبان ثلاثين يوما ثم الصوم
لرمضان بعده
Bab : “Penyebutan dalil bahwa wajib atas setiap muslim untuk
menghitung hari-hari bulan Sya’bân sampai 30 hari, kemudian melaksanakan
shaum Ramadhan keesokan harinya.”
Sumber :
http://www.salafy.or.id/fiqih/ketetapan-syariat-islam-dalam-cara-penentuan-ramadhan-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan-2/
Perbedaan Mathla’
(Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya
Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui
masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal,
bukan dengan hisab. Dan konteks
kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri
atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan
hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“
Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya
kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian
aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan,
sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam
Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas
bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal — : ‘kapan kamu
melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at.
Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku
menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu
pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami
akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya
(hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah
?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’”
(HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud
dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi 1/213)
Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para
ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari
Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : “Para Ulama berbeda
pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan
hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim.
Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan
Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak
menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat
ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus
mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab
Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah
menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah
tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di
Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa
apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada
yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka
semua berpuasa…
Sebagian pengikut
madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka
hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok
ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan
dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi
dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam
Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang
tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “
Tidak harus berpuasa karena
persaksian orang lain…” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul
fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak
berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah,
yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat
hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal
ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan
Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan
dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa)
dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits :
“Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah
negeri lain. Demikian pendalilan mereka.
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’
(tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu
negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena
sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”
Puasalah kalian
karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum
mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat
hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”
(Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan’ani rahimahullah berkata, “
Makna dari ucapan “karena
melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini
menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua
penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)
Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan
bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam
kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “
Orang-orang
yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya
(negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i,
diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada
yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq
dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat
tidak berkaitan dengan hilal….
Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di
suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau
menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak
(berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau
banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata : “
Apabila penduduk suatu negeri
melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi
pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu
“karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan
lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka
barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah
ru’yah itu untuk semuanya …” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari
ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi
setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya
mengatakan : “…
Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang
menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz
(ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan
merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri.
Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin
seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam
Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah
1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak
bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa
perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih
kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang
yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita
kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal
satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas)
meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari
atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian
dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap
pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah
hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104
…(Tamamul Minnah, hal. 397)
Bolehkah Ber -Iedul
Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?
Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah
sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa
sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci
oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :
Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi.
Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika
bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat
yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
(artinya) : “
Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka
kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan
Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan
beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata :
“Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah
Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para
ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah
membawakan hadits ini : “
Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan
hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”
Imam As-Shan’ani berkata : “
Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa
hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied
dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan
mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan
Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata : “
Dikatakan bahwa di dalam hadits itu
terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa
mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk
berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga
dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu
orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima
persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak
berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada
riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “
Yang jelas
maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak
boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada
imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan
imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib
atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan : “
Makna inilah yang terambil dari
hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap
Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu
hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya
tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah
berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri
adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah
1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada
orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena
dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal
dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau
membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari
alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “
Apa yang
sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada
orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid
yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila
hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat
bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para
imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian
dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas
mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan
atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.”
(Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari
mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu
malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?
Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam
menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut :
“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa
pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan
membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan
hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “
Apabila kalian
melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal
Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.”
Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak
disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah
waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan
hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa
berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat
kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah
pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad
menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa,
maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul
ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “
Tidak berpuasa (pada
saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa
berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan
puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa
pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan
adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah
untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “
Aku tidak
mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan
memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan
kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih
larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “
Tidak diragukan lagi bahwa
para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat
tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang
puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya
hadits Ammar : “
Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi
mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan
shahabat dan tabi’in beramal.”
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan
Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan
selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu
Imam As-Shan’ani menegaskan : “
Ketahuilah bahwa hari yang diragukan
adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada
malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi
saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan
selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus
Salam 2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya
bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari
dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan
dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “
Janganlah kalian dahului
Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa
berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “
Barangsiapa berpuasa pada
hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim
Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi
Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh
Salim Al-Hilali hal.28).
4. Hukum Hilal
Yang Diketahui Pada Akhir Siang
Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat
bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa
telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke
tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke
1026).
Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat
Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied
kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat
Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad,
Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari
yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan : “
hadits diatas sebagai dalil bahwa
shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan
jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133)
Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang
menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan
yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita.
Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk
tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.
Catatan :
Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru
tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari
mendatang setelah hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz
Zuhair Syarif).
Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif,
Judul: Penentuan Hilal awal bulan